CERITA KEBERAGAMAN KAMPUNG LEDOK TUKANGAN

Menyangga Keberagaman, Keselarasan, dan Kelestarian

CERITA KEBERAGAMAN KAMPUNG LEDOK TUKANGAN

Kampung Ledok Tukangan berada di sebelah timur Malioboro dan bantaran Sungai Code dengan karakter kampung perkotaan (urban kampung) karena padatnya penduduk dan rumah yang menghimpit satu sama dengan yang lain. Kampung Ledok Tukangan memiliki 3 wilayah atau 3 RW 9 ( Rukun Warga ) dan 15 RT ( Rukun Tetangga ) dengan penduduk setiap RT antara 45 KK – 80 KK. Ruang yang ada di kampung tentunya jalan / gang sempit dan berundak – undak karena di tengah kampung ada 2 wilayah seperti bukit, karena memang menurut sejarahnya Kampung Ledok Tukangan cikal bakal aliran Sungai Code dahulu kala. Menurut penuturan sejarah yang pernah kita gali dari pendahulu, Kampung Ledok Tukangan pemilik lahan / tanah dimiliki oleh 4 orang sebagai cikal bakal orang yang masuk wilayah tersebut dan membuat komunitas sosial beserta tatanannya.

Foto Ledok Tukangan di Pinggir Kali Code/Red SG/HR

Kampung Ledok Tukangan rata-rata beragama “ abangan “ Islam, Katolik, Kristen dan yang baru Yehuwa. Tentunya dengan proses dan keberagaman masing masing yang kemudian Kampung Ledok Tukangan bukan basis satu agama saja, ditambah lagi masifnya urbanisasi dari desa desa sekitar Jogja menjadikan Kampung Ledok Tukangan semakin kompleks dan majemuk dalam segala hal. Menariknya adalah warga yang masih kelahiran di Kampung Ledok Tukangan masih punya banyak peranan baik di wilayah kepengurusan kampung dan agama masing – masing, jadi masih memiliki  tradisi tradisi peninggalan pendahulu.

Kampung Ledok Tukangan yang diketahui penulis sangatlah cepat berubah – rubah situasi nya dari zaman ke zaman, cerita di era 60-an, dimana kampung dengan situasi mencekam karena gerakan 65 nya dan memang kampung dengan minimnya fasilitas umum dan penerangan dan masih banyak pohon – pohon besarnya.  Di era 90-an Kampung Ledok Tukangan memiliki  imej sebagai kampung hitam karena banyak preman,perjudian, dan mabuk.  Hampir setiap jengkal RT pasti ada dan tidak mengenal waktu siang dan malam. Kampung kala itu seperti surganya para penjudi,pemabuk dan premanisme, karena setiap saat pasti ada yang di pukul dan memilih keluar dari kampung. Pada era 2000-an penulis dengan beberapa pemuda (notabenenya masih hobi dengan situasinya judi/minum dll ) kemudian mencoba membangun gagasan gagasan dengan membuat  kegiatan – kegiatan baik sifatnya pertunjukan atau pun kumpul – kumpul dan melakukan aktifitas positif ( bikin sanggar, bikin kelas, bikin apa saja ) dan sangat menarik sekali ternyata masyarakat kampung bisa bertemu antara yang tua dan muda menjadi cair dalam proses – proses berkegiatan bersama.

Hal itu selalu kita ulang-ulang dalam berkegiatan bersama, baik RW 1, RW 2, RW 3 dan senang karena selalu bertemu dan berkmpul bersama, walau memang banyak sekali khususnya orang – orang tua yang meremehkan dan menyangsi kan tentang gagasan – gagasan kegiatan anak muda. Sampai akhirnya semangat anak muda menjadi sangat kuat.  Dengan cara kemandirian dalam membuat atau mencukupi gagasan kegiatan kegiatan, misalkan untuk membuat atau mencukupi semua kegiatan peringatan Hari Kemerdekaan setiap 17-an dan Sumpah Pemuda juga dan kegiatan laiinya anak muda setiap malam mengamen untuk donasi kegiatan bisa sampai 20 – 30 orang dan senang karena bersama dan apalagi para cowok dan cewek yang lagi cinlok ( cinta lokasi ) semangat-nya poll mentok.

Peringatan HUT RI Ledok Tukangan /Dok SAKI

Kampung Ledok Tukangan menjadi menarik karena berada di pusat kota Yogyakarta.  Tetapi walaupun di pusat kota masyarakat warga Kampung Ledok Tukangan tetap masih  tertinggal di bawah atau ekonomi lemah, karena rata-rata warga Kampung Ledok Tukangan bekerja sebagai buruh di Malioboro dan Pasar Beringharjo juga sekitarnya. Jadi, memang bisa dihitung dengan jari orang yang kuliah atau sekolah di universitas, karena banyak pilihan dan kesempatan kerja di sekitar Kampung Ledok Tukangan, banyak anak muda lumayan malas untuk bersekolah tinggi, ada yang keluar ketika SD atau SMP maksimal lulus SMA. Di tahun 2006-an anak muda kemudian membuat kumpulan kolektif, namanya Sanggar Anak Kampung Indonesia, (SAKI). SAKI menjadi pusat kegiatan untuk menyuarakan hak pendidikan anak, baik dari sisi seni, budaya, formal maupun agama. Dengan banyak sekali kegiatan, baik internal maupun bekerjasama dengan jaringan-jaringan luar baik dalam keilmuan penambahan kapasitas maupun bersama – sama membuat kegiatan tentang keberagaman dan kebangsaan.

Kampung menjadi sangat hidup dan sangat berdampak positif bagi situasi kampung yang terkenal dengan kemabukan dan perjudian juga premanisme. Citra negative itu lambat laun menjadi terkikis dan menghilang, karena setiap personal tersebut malu dan ewuh-pekewuh kepada kelompok kolektif tersebut yang berupaya setiap saat untuk menghilangkan citra jelek kampung Ledok Tukangan. Salah satu strateginya adalah merangkul dan mengajak pertemanan dengang geng-geng di kampung untuk beraktivitas bersama dalam kegiatan-kegiatan positif. Sampai situasi menjadi aman dan terkendalikan. Karena yang masih punya hobi mabuk, pasti keluar dari kampung dan pulang pun tidak membuat onar seperti dulu kala. Ada sesuatu perubahan yang menarik di kumpulan anak muda tersebut sebab anggotanya beragam agama dan suku  sebagai karakter masyarakat perkotaan yang tinggal di kampung.

Salah satu yang menarik dari sekian banyak keberagaman yang ada di Kampung Ledok Tukangan adalah Sanggar Anak Kampung Indonesia bekerjasama dengan salah satu pesantren di Kota Yogyakarta dan membuat kegiatan taman baca Al-Qur’an / Kitab Suci umat Islam teruntuk anak-anak yang ada di kampung, dimana koordinator kurikulumnya pengajarannya adalah teman Katolik dan itu bukan masalah yang sensistif dan bagi kita biasa saja. Kegiatan tersebut berjalan bertahun – tahun dimana kemudian dampak lainnya ketika masuk bulan – bulan Ramadhan / kegiatan umat Islam, teman – teman Katolik juga terlibat menjadi panitia di dalamnya dan tidak cuma satu orang tapi banyak. Sebaliknya, ketika ada kegiatan natal, saling berganti nanti anak anak muda yang Islam yang menyiapkan dan menjadi panitia.

Di sisi lain,  dalam hal tatanan sosial peristiwa-peristiwa keberagaman masih kita lakukan dan saling membantu dalam kesulitan dan apapun, baik ketika ada yang sakit, ada yang meninggal dan yang lain sebagianya.  Misalkan sampai hari ini, ketika ada umat Islam sedang melakukan tahlilan atau mengirim doa buat keluarganya yang meninggal dan karena situasi tempatnya / rumahnya kecil, lalu kegiatan pengajian itu diadakan di rumah warga Katolik yang rumahnya lumayan besar dan itu sering terjadi.  Penanaman-penanaman nilai tersebut selalu kita giatkan, misalkan ada teman non muslim mempunyai hajatan dan perlu kerja bakti. Bagi kami itu biasa kami lakukan walau memang kemudian volumenya tidak sebanyak dulu, karena faktor urbanisasi yang sangat masif dan memang sulit untuk diajak  atau dibangun komunikasi masalah srawung dan bersosial.

Ada 2 pekerjaan anak muda yang sangat capek sekali dan itu berulang – ulang, yang pertama kuat atau masifnya urbanisasi masuk kampung yang silih berganti dan menjadi capek karena harus selalu mereview tentang pentingnya menjaga kampung dan hidup srawung, yang kedua bertemu pemilu, karena kita selalu capek untuk mengembalikan persatuan dan kesatuan setelah pemilu bagi mereka yang memiliki pilihan merah, kuning,hijau maupun warna lainnya. Salah satunya strategi yang lumayan efektif adalah dolan bersama, baik touring maupun kemping. Meskipun memang tetap meninggalkan situasi yang menjadi kebosanan dan seperti ingin tidak peduli lagi dengan sekitarnya, tetapi begitulah kampung dengan dinamika konflik sosial dan keberagaman yang selalu baru. Karena hal tersebut bukan sesuatu yang baru, jadi kita anak muda selalu slow, santui dan meresponya dengan asyik. Kita selalu mengibaratkan seperti bermain layangan. Kadang talinya dikendorkan dan dikencangkan dan kadang diputar-putar layangannya agar masyarakat terbentur dengan satu situasi bahwa mereka membutuhkan anak muda untuk menyelesaikan persoalan – persoalan tersebut. Caranya dengan berkegiatan yang menarik dan berdampak positif dan membuat nama baik kampung. Keberagaman lain yang kita miliki adalah ketika berkegiatan sholat taraweh sampai kegiatan takbiran Karnival teman-teman non muslim menjadi panitia dan bagian dari kerja bersama.

Tahun kemarin pandemi covid 19 melanda Indonesia dan kampung kami, situasi awal Maret menjadi situasi dimana semua orang panik. Warga kami menjadi kacau balau dan kampung menjadi sepi seperti sebuah lokasi kuburan baru di tengah kota. Orang tidak berani keluar dan setiap warga menjadi paranoid ketika saling bertemu / berpapasan. Pemangku kebijakan kampungpun beku dan mati dalam memikirkan apa solusinya. Apalagi negara dan pemerintah baik kelurahan sampai tingkatan presiden yang hanya mampu berceloteh di media media sosial maupun media televisi, tidak ada yang turun untuk rakjat atau warga, padahal rakyat atau warga hanya butuh sosialisasi atau edukasi dengan baik dan benar dan merata ke masyarakat tentang apa itu covid 19, apa itu pandemi agar mereka juga paham dan bisa melakukan apa yang harus dilakukan agar menjadi aman dan terkondisikan.

Kami masih ingat kala itu sangat jelas bahwa negara memang tidak siap dan tidak hadir saat dibutuhkan oleh warga / rakjat secara utuh. Semua menjadi cuek, semua menjadi individu, semua menjadi jahat karena banyak fitnah dan gibah setiap saat dalam menstigma seseorang. Dan itu terjadi juga di kampung Ledok Tukangan. Kami khususnya anak muda hanya bisa berkomunikasi lewat medsos dan whatsApp karena negara mengumumkan stay at home dan kita banyak sekali melakukan diskusi-diskusi via grup wa anak muda, karena grup wa pengurus kampung dan tingkat atasnya, tidak jelas dan malah seperti menakut nakuti dengan banyak sekali aplodan baik video maupun artikel ataupun berita yang sifatnya tidak mendidik sama sekali tentang covid 19.

Dari diskusi tersebut,  kami anak muda akhirnya tergerak melakukan patungan uang dan bertemu di rumah penulis untuk membuat hand sanitizer berbahan tumbuh – tumbuhan atau organik, dan uangnya kami belikan media atau botol kemasannya. Kami berhasil membuat 5000 hand sanitizer dan kami bagikan ke seluruh warga kampung lewat pengumunan di grup-grup kampung (arisan PKK, RT,RW, RK, dll ). Untuk menghindari kerumunan,  kami mengantar  hand sanitizer itu dari rumah ke rumah sembari memberikan pamflet/poster edukasi tentang covid. Kami sekaligus melakukan edukasi warga warga yang lanjut usia dan sulit membaca. Selang satu dari kegiatan bagi-bagi hand sanitizer gratis untuk siapapun, akhirnya kami memaksa pengurus kampung untuk berkumpul dan musyawarah untuk mendapatkan solusinya. Akhirnya, kami membentuk SATKORLAK dan kerena semua merasa takut bergerak, akhirnya penulis menjadi ketua SATKORLAK dan disuruh menggerakan.  Hal ini merupakan  lagu lama pengurus kampung.

Akhirnya kita membuat 3 program ( penyemprotan dua kali dalam seminggu, edukasi dan pembagian masker 1 minggu sekali, pembuatan hand sanitizer dan wastafel cuci  tangan di titik-titik kampung ) dan karena kita terbiasa kerja kolektif anak muda, jadi masalah koordinasi dan bagi tugas bukan sesuai yang sulit bagi SATKORLAK Kampung Ledok Tukangan sampai masuk di bulan puasa dan lagi-lagi kami dihadapkan oleh negara kebijakan kebijakan yang tidak dipersiapkan sejak awal, salah satunya mudik. Kami harus membuat pintu kampung satu jalur dan kami harus setiap hari bertemu dengan konflik antar warga berhubungan dengan kesimpangsiuran kebijakan yang tidak jelas.  Satu tahun lebih sampai hari ini kami ngopeni atau mengelola konflik warga yang sangat sensitif sekali. Alkisah, setelah lebaran atau Idul Fitri situasi menjadi agak sedikit mudah dikendalikan.  Kami anak muda membuat gagasan-gagasan baru, awalnya kita ingin ngopeni kaum lansia / yang rentan dengan covid 19 dengan cara memberi perhatian membuat minuman penambah imun dan penghangat di malam hari, minuman empon – empon (rempah). Kami sebarkan ke medsos dan banyak dapat respon dari teman – teman jaringan dan yang lainnya. Akhirnya kegiatan melebar, kita buat dapur empon-empon dan berproduksi di hari Rabu dan Sabtu. Awalnya sama seperti hand sanitizer kami patungan uang untuk beli bahan dan akhirnya kita assessmen kemana- mana baik panti wreda, panti jompo milik negara maupun panti milik agama Islam dan agama yang lain plus beberapa kali request Puskesmas dan buruh gendong pasar. Kurang lebihnya 1.870-an minuman empon-empon yang dibagikan gratis kepada siapa saja tanpa memandang latar belakang agama dan sukunya. Yang menarik adalah yang melakukan produksi semua laki-laki muda. Sementara perempuan muda mendapat bagian pengiriman atau membagi ke target.

Di sela-sela kegiatan tersebut, kita juga banyak membagikan sembako,masker, hand sanitizer baik dari teman-teman jaringan maupun dari kita peroleh lewat donasi dan kita bagikan secara merata kepada semua warga tanpa membedakan agama.  Karena situasinya semua sama dan kami tetap selalu menjaga prokes.  Kegiatan tidak ada habisnya.  Kami melihat warga menjadi pedagang semua di grup -grup WhatsApp, dari bawang merah sampai jualan produk.  Lalu akhirnya kami menemukan gagasan baru yaitu Pasar Kali online ( seperti gofood di gojek ) dan kami mengembangkan kirimbike ( pengantaran dengan naik sepeda ). Anggota Pasar Kali Online mencapai 32 orang dengan berbagai macam makanan kuliner dan penghasilan yang biasa nya sehari 3-10 porsi, dengan pasar kali online menjadi berlipat sampai 100-150 porsi  dan kita tim relawan kontribusi mendapat kesenangan selalu diberikan produk mereka secara gratis sebagai ucapan terima kasih.

Sampai akhirnya banyak media meliput salah satunya metro tv Jawa Tengah dan nasional dan baru pemerintah memberi apresiasi  seperti film india, lakonnya selalu telat / belakangan munculnya . salah satunya beretemu dengan kepala dinas koperasi DIY, apa yang dinas bisa bantu ? kami bilang warga butuh pinter dan mandiri dan akhirnya di berikan pelatihan untuk warga “digital marketing “. Sekarang warga bisa mandiri tanpa harus bergantung kepada Pasar Kali online. Pekerjaan yang lumayan ekstra  bagi kita orang kampung dengan minim ketrampilan. Kami juga membangun  program “ desa bantu kota “ dimana petani petani di Merbabu  memberikan  sayuran dan kami membagikan kepada kampung kota. Sampai pada satu situasi selama 2 bulan kita ekstra kerja keras dalam keberagaman dan tanggung jawab kemanusiaan. Karena kita harus mengarantina 52 warga, 27 terpapar covid dan meninggal 3 warga lansia. Kita membuat dapur umum, menggencarkan penyemprotan dan edukasi baik melalui rumah ke rumah maupun kita mengembangkan radio komunikasi covid  dengan mendatangkan kepala Puskesmas dan Pak Camat sebagai narasumber agar tidak semakin besar penularan dan semakin meluas. Kami membuat pos jaga 24 jam penuh, kami mengampanyekan masker dan membagikan sampai akhirnya semua sembuh dan  nol terpapar.

Banyak hal yang sudah kita lakukan setahun pandemi ini dengan segala konflik dan dinamika warga, baik keberagaman maupun sisi lain kemanusiaan. Kegiatan paling terkini,  bersama keluarga Forum Peranakan Tionghoa kami membagikan sembako kepada skala prioritas tidak mampu tanpa memandang agama dan suku. Warga senang sekali, artinya keberagaman hari ini menurut kami di kampung masih utuh dan sangat terjaga. Panjang umur kebaikan, panjang umur keberagaman dan panjang umur tidak bertanya bahwa kita seiman tapi kita sama menjadi manusia. Salam sejahtera, salam sehat dan jaga selalu keberagaman.

Penulis Anang Nasichudin, Pemuda Pegiat Komunitas Kampung Ledok Tukangan Yogyakarta

 

One Response

Leave a Reply to Rizal Fathurrahman Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *