14 Penyair Yogya di Bulan Purnama
Buku puisi berjudul ‘Jalan Puisi’ karya 14 penyair Yogya, diterbitkan Tonggak Pustaka, yang didukung Sanggaragam diluncurkan di Sastra Bulan Purnama edisi 141, Sabtu – 17 Juni 2023, pk. 15.00-18.00 WIB di Museum Sandi Negara, Jl. Faridan M. Noto No.21, Kotabaru, Kec. Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55224 (di utara Raminten dan Balai Bahasa Yogyakarta, atau sebelah barat SMA Stella Duce 1, Kotabaru, atau juga sebelah selatan ban-ban Gondolayu).
Para penyair kelahiran tahun 1950-an ini, sejak tahun 1970-an sudah mulai menulis puisi, sampai sekarang mereka masih menulis puisi. Artinya, konsistensi kepenyairannya terus terjaga. Pada tahun 1970-an, para penyair ini, bisa dikatakan saling bersaing untuk mempublikasikan puisinya di media cetak lokal maupun nasional, sambil terus membina persahabatan sampai sekarang.
Pada tahun 1970-an, di Yogya dikenal Persada Studi Klub (PSK), asuhan Umbu Landu Paranggi, dan penyair ini, meski tidak semuanya, kebanyakan aktif di PSK asukan Umbu Landu Paranggi, yang mendidik para remaja untuk menjadi penyair. Para penyair yang lahir tahun 1951, Fauzie Absal, Landung Simatupang, 1952, Sutirman Eka Ardhana, Jabrohim, 1953, Emha Ainun Najib, 1954, Marjuddin Suaeb, Mustofa W.Hasyim, Simon Hate, 1955, Darwis Khudori, Wadie Maharied, 1956, Suminto A.Sayuti, 1957, Krishna Miharja, 1958, Enes Pribadi, dan yang paling muda 1959, Ons Untoro.
Menurut Fauzi Absal, Sastra Yogya tujuh puluhan bisa dibilang sastra lesehan, namun sengit dalam adu kreativitas. Kenapa kata lesehan menempel padanya? Ini kaitannya dengan jejeran lesehan di jalan Malioboro yang kini hilang tapi melegenda.
“Lesehan-lesehan warung makan yang bertebar di emperan toko-toko Malioboro yang banyak diminati para kaum seniman, budayawan, intelektual, dan para calon sarjana yang tak sekedar ingin berhura-hura cari angin di sana, tetapi juga mencari inspirasi, setidaknya energi kreatif”, ujar Fauzi.
Sedaang Mustofa W. Hasyim menyebutkan, bahwa ibarat ruang yang amat luas dan segar udaranya, Sastra Yogya 1970-an (Sastra Malioboro) adalah rumah para sastrawan dan pecinta sastra. Rumah itu terbuka dan ramah. Orang boleh masuk di dalamnya, terlibat aktif dan serius dalam kegiatan mengembangkan kreativitas individual dan kreatif komunal.
“Berdebat seru tentang apa saja. Tidak harus tentang sastra, malah seringnya tentang pernik-pernik kehidupan yang menarik. Tentang makna-makna pengalaman hidup diselingi gojekan kere karena sama-sama minim duitnya. Dan ini justru membangun solidaritas kemanusiaan yang amat kuat antar sesama warga Sastra Yogya 1970an”, kata Mustofa
Sekarang, para penyair ini memiliki kegiatan yang lebih luas, tidak hanya puisi, Emha Ainun Najib misalnya, yang pada tahun 1970-an pernah menjadi salah satu ikon penyair Yogya, ruang aktivtiasnya meluas ke area kebangsaan. Suminto A. ,Sayuti, sebagai guru besar, ruang akademik menjadi medan kreatifnya, dan Landung Simatupang, aktivitasnya seringkali dihabiskan main film, dan penyair lainnya mempunyai aneka kegiatan yang berbeda-beda. Namun, yang menggembirakan mereka masih menulis puisi.
“Para penyair ini masih terus menulis puisi, sehingga hanya dalam waktu 2-3 hari diminta untuk mengirim 10-15 puisi, dengan segera mereka mengirim puisi karyanya yang dtulis antara tahun 2021-2023, sehingga puisi cepat terkumpul, dan dalam waktu relatif pendek buku bisa segera diterbitkan”, ujar Ons Untoro penggagas buku puisi ini sekaligus sebagai editornya.
Selain dibacakan oleh para pemyairnya, beberapa pembaca tamu akan membacakan puisi para penyair lainnya, misalnya Laretna T.Adhisakti, seorang arsitek, akan membacakan puisi karya Darwis Khudori, karena yang bersangkutan sudah pulang ke Perancis. Darwis, penyair asal Kotagede, yang tahun 1970-an ikut aktif di Malioboro, medan kreativitas sudah mengglobal.
Pembaca tamu yang lain, Joko Kamto, seorang aktor teater, akan membacakan puisi karya Emha Ainun Najib. Pembaca yang lain lagi, Yuliani Kumudaswari, perempuan penyair akan membacakan puisi karya Ons Untoro, dan Vivin Rachmawati, seorang pelajar SMA akan membacakan puisi karya Simon Hate.
Selain dibacakan, beberapa puisi penyair akan dibuat lagu. Joshua Igho, seorang penyair, akan melagukan puisi Sutirman Eka Ardhana, Vincensius Dwimawan akan melagukan puisi Emha Ainun Najib. Puisi Jabrohim, pengajar di Universitas Ahmad Dahlan, akan dilagukan Sigit Baskara dan Edi Widiyanto. Satu puisi Ons Untoro dilagukan Fileski, penyair dari Madiun (Red.)