Disparitas Budaya Orang Asli Suku Yaghai Papua
Meskipun sudah lebih setengah abad sejak PEPERA tahun 1969 Papua dinyatakan secara resmi menjadi bagian wilayah Indonesia, namun kesenjangan besar dalam berbagai aspek dialami oleh masyarakat asli Papua. Papua yang digambarkan sebagai “surga kecil yang jatuh dari langit”, faktanya mengalami kondisi-kondisi yang tidak setara dengan penduduk Indonesia lainnya. Penulis akan memotret pengalaman hidup di satu suku pedalaman, yaitu suku Yaghai yang tinggal di Kabupaten Mappi, Provinsi Papua. Suku Yaghai merupakan satu suku asli Papua yang mendiami kawasan hutan rawa-rawa gambut (Mbambur –istilah setempat) yang luas di perbatasan ujung paling timur Papua, antara Kabupten Asmat dan Kabupaten Merauke, Provinsi Papua.
Suku Yaghai sampai detik ini masih mengandalkan hidup dari kelimpahan alam dengan berburu binatang seperti rusa, babi, burung Kasuari, memancing ikan di rawa-rawa, dan menangkur sagu sebagai penghidupan utama mereka. Mereka masih bertahan dalam alam budaya kuna, seperti disampaikan salah seorang dari masyarakat lokal, mereka masih hidup seperti di zaman “kapak batu”. Setiap hari perempuan-perempuan suku Yaghai menangkur sagu, mencari ikan, dan menanam sayuran untuk dijual ke pasar di Pelabuhan Kayu di Kota Kepi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Masyarakat Suku Yaghai tinggal di tengah hutan rawa-rawa gambut yang lebat. Tidak ada jalan darat di perkampungan mereka. Sungai Oba merupakan salah satu urat nadi yang menjadi jalur utama mobilitas mereka, sebagai tempat mencari ikan dengan memancing atau memasang bubu tradisional yang terbuat dari bambu. Sungai ini juga merupakan jalur transportasi utama yang menghubungkan wilayah pedalaman dengan muara sungai Digul, Tanah Merah, Kabupaten Asmat, serta laut lepas, Arafura.
Suku Yaghai dikenal sebagai salah satu suku perang. Mereka dikenal sebagai salah satu suku pemburu kepala manusia (head hunter) di Papua pada masa lalu. Mereka memiliki perangai dan kemauan yang keras. Tidak mudah mendekati suku ini, jika tidak memiliki hubungan dengan orang dalam. Namun, berkat peran misionaris, mereka telah mengalami tranformasi budaya. Melalui proses pendidikan yang disebut “Sekolah Peradaban” (cilivization school), misionaris berhasil mendomestikasi suku Yaghai yang berperangai keras menjadi lebih lembut. Mereka pada dasarnya adalah orang-orang yang sederhana, tetapi tegas. Segala sesuatu harus jelas dan keputusan diambil secara bersama dalam sebagai suatu komunitas.
Akan tetapi, akses berbagai pelayanan publik menjadi masalah besar. Ada ketimpangan sedemikian besar antara wilayah Indonesia bagian barat dengan wilayah Indonesia timur, khususnya Papua di wilayah pedalaman. Suku Yaghai merupakan satu suku pedalaman Papua yang terpinggirkan dan terisolasi dalam satu kawasan rawa gambut. Akses transportasi publik untuk berhubungan dengan budaya lain dan akses dalam pengembangan ekonomi masyarakat sangat terbatas. Mereka tidak memiliki akses jalan darat, antarkampung dihubungkan dengan jalur sungai di hampir 90 % kampung-kampung dari sekitar 162 kampung Kabupaten Mappi. Keterbatasan sarana transportasi laut menjadikan harga-harga barang melambung tinggi. Harga bensin di pedalaman bisa mencapai 30 hingga 50 ribu per liter pada saat musim BBM langka, karena pasokan bahan bakar minyak harus didatangkan dari Jawa menggunakan kapal laut.
Kondisi alam serta pendidikan yang tidak memadai semakin meminggirkan orang asli Papua di tanahnya sendiri. Akses ekonomi pasar dikuasai oleh pemilik modal dari pendatang, yakni para pedagang Cina, Bugis, Buton, Makasar, Jawa, dan suku-suku lain yang menjadi superior di tanah Papua. Sementara orang Papua terus-menerus bergulat dalam ketidakberdayaan. Kelimpahan sumber daya alam dan hutan seperti mengalir deras tak berbekas bagi masyarakat lokal. Keterampilan terbatas orang lokal yang masih hidup dalam budaya berburu dan meramu dipaksa untuk bersaing dengan pendatang yang tingkat pengetahuan dan budayanya lebih adaptif terhadap perkembangan budaya terkini. Mereka kalah bersaing dan tak berdaya. Akhirnya, muncul stereotip orang lokal yang suka “kekerasan dan memaksakan kehendak”. Padahal hal demikian itu karena lahir dari ketidakberdayaan berhadapan dengan jurang kesenjangan yang lebar dengan masyarakat pendatang.
Mekanisme pasar bebas menjadikan orang lokal Papua semakin tersudut dalam konstelasi peradaban. Persaingan bebas memberikan ruang yang luas bagi pemain yang memiliki keterampilan dan pengetahuan yang mendukung. Sementara, masyarakat lokal yang memiliki pola pengetahuan dan kebudayaan yang khas, yang berbeda, membutuhkan penyesuaian yang berbeda. Jika orang pendatang sudah mampu mengendarai motor bermesin, orang lokal masih mengandalkan tenaga manusia. Proses perubahan kebudayaan membutuhkan waktu yang panjang. Tidak bisa instan.
Sebagian penduduk suku-suku asli masih mengandalkan tradisi “mencari dan mengumpulkan” dan membutuhkan transformasi panjang untuk berubah ke tradisi “menanam dan merawat”. Beberapa suku di Papua memang sudah memiliki tradisi merawat dan menanam yang ulet dan berhasil seperti Muyu di Digul dan suku di Wamena yang dikenal sebagai suku yang hidup dalam sistem “kapitalis primitif”. Budaya bertani mereka diakui. Mereka memilliki keterampilan dalam bertani dan berternak.
Suku Yaghai ini memang memiliki karakter tersendiri, berbeda dengan beberapa suku lain, dengan teknik dan pengetahuan berhitung sangat sederhana. Secara tradisional mereka tidak mengenal hitungan yang detail. Tradisi berhitungnya sangat sederhana, hanya satu, dua, dan banyak. Hal ini berpengaruh dalam tradisi budaya penghitungan modern. Pendidikan memang menjadi kunci untuk membangun kapasitas untuk berdaptasi dengan perubahan cepat budaya modern.
Pada sisi yang lain, suku Yaghai memiliki kelebihan kekuatan fisik untuk dikembangkan dalam bidang olah raga, atletik, kemiliteran, dan seni. Tidak salah ketika dahulu misionaris Belanda mengembangkan Sekolah Peradaban, dengan kurikulum dasar yang diajarkan adalah kemampuan membaca, berhitung, menyanyi, serta bermusik. Menyanyi dan menari menjadi bagian dari tradisi budaya mereka. Karakter masyarakat Papua adalah suku yang ceria, dan riang. Hal ini dapat dilihat dalam tradisi penyambutan tamu, yang direpresentasikan dengan sambutan penuh semangat dengan menari. Tarian ini menjadi semacam ekspresi lokalitas yang menyalurkan energi bagi mereka. Dalam semangat itulah mereka mengekspresikan dirinya.
Kebijakan pembagunan yang berfokus pada sektor ekonomi menimbulkan shock culture bagi masyarakat lokal. Masyarakat lokal membutuhkan proses penyesuaian. Lemahnya sumber daya yang mau memahami kebudayaan lokal sebagai kekuatan menjadikan masyarakat Yaghai seperti dibiarkan berjalan sendiri dengan kebiasaannya, sementara pemerintah juga berjalan dengan pola pembangunaan yang sentralistik. Akibatnya, masyarakat merasakan seperti berjalan sendiri. Seperti anak ayam kehilangan induknya.
Persoalan akses yang tidak setara karena kondisi geografis serta faktor kebijakan dan lemahnya sumber daya manusia menjadi pokok dari kesenjangan masyarakat lokal dengan para pendatang. Sampai pertengahan tahun 2019, listrik dan sistem komunikasi modern belum menyentuh masyarakat yang tinggal di perkampungan di pedalaman. Bisa dibayangkan tanpa sambungan listrik masyarakat lokal harus hidup berhadapan dengan masyarakat Indonesia lain dan dunia yang mendapatkan fasilitas lengkap dari negara. Hidup di tengah-tengah mereka seperti hidup di pulau terpencil tanpa penerangan dan sistem komunikasi modern yang menjadi jantung peradaban masyarakat global modern. Ibarat kisah seorang yang terdampar di pulau terpencil (cast away) yang berusaha bertahan agar tetap hidup (survivors).
Kesenjangan budaya yang dialami masyarakat suku Yaghai dan suku-suku pedalaman Papua yang lain merupakan satu kondisi tidak adil yang bertentangan dengan hak dan kesempatan mengembangkan keadaban hidup secara pantas. Maka, adanya stereotip negatif yang dilabelkan kepada masyarakat Papua dari masyakarat yang tidak mengenal dengan baik kenyataan hidup masyarakat pedalaman sesungguhnya merupakan bentuk-bentuk penindasan supremasi kultural atas masyarakat yang mengalami ketidakdilan dan diskriminasi. Prinsip kebijakan pembangunan no left behind adalah kunci untuk mengatasi kesenjangan pada masyarakat di daerah yang tak tersentuh dari jangkauan kehadiran negara.
Kemajuan teknologi sesungguhnya merupakan berkah untuk melakukan transformasi budaya berbasis konteks lokal. Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi ruang untuk melakukan inovasi-inovasi yang selaras dengan karakter masyarakat lokal. Kebutuhan inovasi pengolahan bahan-bahan lokal agar memiliki nilai lebih dari kebiasaan sebagaian besar masyarakat menjadi satu hal penting untuk keluar dari jebakan kutukan kelimpahan sumber daya alam. Menurut ahli, seperti disampaikan oleh Richard Auty (1993), dalam tesis kutukan kelimpahan sumber daya yang disebut sebagai resources curse, alih-alih menjadi berkah sebaliknya, kelimpahan sumber daya justru dapat menjadi sumber bencana. Negara-negara yang kaya sumber mineral justru memiliki pertumbuhan ekonomi lebih lemah dibandingkan negara-negara yang tidak memiliki sumber daya tersebut.
Paradoks kemiskinan dengan perkembangan teknologi dapat diatasi apabila ada kemampuan membuat inovasi-inovasi temuan untuk kesejahteraan. Kebudayaan merupakan sistem pengetahuan yang berakar dalam setiap komunitas yang memiliki ruang pengembangan lebih lanjut dari kemampuan daya cipta manusia. Setiap kebudayaan memiliki potensi keberhasilan yang sama untuk dapat keluar dari permasalahan dengan melalui pengembangan akses pendidikan yang setara dan berkualitas.
Memang butuh waktu panjang dan konsistensi untuk berubah dari kebudayaan “mencari dan mengumpulkan” ke tradisi “menanam dan merawat”. Sejarah mencatat ribuan tahun perubahan kebudayaan tersebut. Tidak bisa meloncat langsung “terbang” dari tradisi budaya “mencari dan mengumpulkan” ke budaya industri dan post Industri seperti sekarang yang sudah mulai dikembangkan oleh beberapa negara maju yang sudah menginisiasi kultur industri 5.0 bukan hanya 4.0. Sebuah dunia modern yang lebih mengedepankan nilai etis kemanusiaan dan penghargaan terhadap hak lingkungan untuk keberlanjutan generasi. Semangat ini tampak diadaptasi pada masyarakat pedalaman seperti Papua yang masih menghidupi alam sebagai “sumber spiritualitas” sekaligus penghidupan keseharian. Ini sebuah ruang untuk membangun inovasi yang etis dan estetis bagi keberlangsungan hidup generasi yang keberlanjutan, atau jika kebijakan pembangunan tetap bertumpu mengeksploitasi alam maka lonceng kepunahan nyaring berdentang menghancurkan kehidupan kebudayaan lokal masyarakat pendalaman yang masih sederhana, memeluk alam, seperti suku Yaghai, di Papua. (HR)