HER, Sebuah Laku Ketulusan

Menyangga Keberagaman, Keselarasan, dan Kelestarian

HER, Sebuah Laku Ketulusan

 

Siang itu, saya mengabari bahwa pembicara-pembicara, atau tukang cerita, acara Berbagi Cerita YPR- Sanggaragam dan Jejaring Bandung Spirit sudah beres. Sesuai rencana. Ia pun menjawab, “Sip Bro…,”sambil kirim simbol jempol.

Selang sehari, 16 Juli. tiba-tiba ia mengirim kabar lewat w.a:
“Halo bro…ada kabar yang aku terima. Aku test antigen di Klepu ternyata positif!”
Deg… Kaget! Tapi saya masih percaya, Ia mampu bertahan menghadapi covid 19 yang semakin hari semakin berdarah dingin, tanpa ampun menyerang siapapun. Saya pun mengirimi berbagai informasi tentang kiat orang bertahan dari Covid. Resep kopian dari teman yang baru saja sembuh.

Ia menjawab dengan pendek, “Ya…”

Hari berikutnya, 18 Juli. Saya bertanya, “Piye Bro, dah membaik?”
“Ya isih gregesi. Ya sedikit tersengal.” Jawabnya.
“Saturasi piye?” kuajukan pertanyaan lanjutan.
“Naik Turun!” jawabnya pendek.
Deg… Saya mulai agak khawatir. Saya mencoba menanyakan lagi, “Dah ngremus bawang?”
“Belum,”
Cobanen, syukur bawang lanang!”
“ya…” jawabnya.

Untuk menyemangati, saya melanjutkan, “Ati-ati dan istirahat betul bro, ben cepet pulih…Btw, diskusi sastra dan kota beres, mas Bre Redana ok”.

Percakapan mandeg.

Esoknya, 19 Juli, Ia menjawab, “Ok LA jut. Poster?”
“Belum kubikin, masih koreksi.” Jawab saya, tanpa merasa janggal atas kesalahan kata dalam jawabannya.

“Dah mulai pulih?” Kulanjutkan bertanya.
Sunyi. Tak ada jawaban.

20 Juli. Seharian gak ada kabar. Malam hari, saya coba bertanya, “ Piye bro kabare?”
Tak ada jawab.

21 Juli. Pukul 10.06 WIB. HP saya berdering dua kali. Tapi saya tak mendengarnya. Sebuah pesan pendek masuk, “RIP Ignatius Hersumpana. Hari ini. Mohon doanya. Nuwun.” Mungkin mbak Dewi, istrinya atau Anne anaknya, yang mengirim pesan.

Kaget, tak percaya. Saya menelpon balik. Mbak Dewi mengangkat. Baru satu kata, “Halo….” Saya tak bisa meneruskan. Tercekat. Nangis.

Itulah percakapan saya dengan Hersumpana, saya biasa memanggilnya Hersum, kadang Her. Sementara teman yang lain memanggilnya Heru Gogok. Bagi saya, ia adalah seorang sahabat, rekan kerja dan kawan ngobrol. Bersamanya, kerja menjadi lebih hidup. Ngobrol tak mengenal tamat. Semua mengalir tanpa henti.

Hersum bukan hanya kawan yang menyenangkan. Ia senantiasa bekerja keras dalam setiap pekerjaan. Di saat nafasnya sudah memburu, pendek-pendek, Hersum tak pernah mengeluh. Bahkan, sekedar cerita pun tidak. Justru dia menanyakan tentang pekerjaan. Tanggung jawab terhadap pekerjaan, dia tak ingin melepaskannya. Saya jadi ingat, jauh-jauh hari sebelumnya, dia memberi kabar dan meminta maaf tak bisa bertemu, karena tak bisa dihantam asam urat tinggi dan kolesterol. Dengan ringan, ia  mengatakan woles-woles saja. Hersum selalu ingin orang lain tak menjadi cemas dengan kesehatannya.

Terhadap kesehatannya, Hersum memang kadang ceroboh. Sering, ia tak kuat menahan godaan makan enak. Pernah suatu kali saya memarahinya, karena ia makan gudeg koyor malam hari, tanpa memperhitungkan kesehatan asam urat dan kolesterolnya. Ia pun hanya meringis, sambil meyakin-yakinkan, “Woles-woles, no problemo, mak nyus…..!”.

Tapi, siapa yang bisa marah sama Hersum, sebab ia tak punya tampang menjengkelkan. Her senantiasa seorang pribadi yang solider dengan teman, dan terlebih dengan wong cilik. Tampaknya, hati Hersum sungguh sudah tertambat di setiap hati wong cilik yang ditemui dalam kerja-kerjanya, yang menjelma menjadi sikap dan pengorbanan. Suatu kali, Yayasan Pondok Rakyat mengembangkan program koperasi simpan pinjam. Seperti biasa, masalah klasik adalah macetnya angsuran anggota. Semua pengurus pusing mikir kredit macet.  Tiba-tiba, semua pengurus punya wajah sumringah cerah, sebab ada uang angsuran masuk. Tentu saja, itu melegakan. Namun, siapa sangka, uang tersebut ternyata bukan dari angsuran anggota, tapi dari gaji bulanan Hersum yang dipotong! Hutang anggota lunas, tapi uang Hersum ludes! Wajah sumringah berubah menjadi kecut!

Solidaritas Hersum terhadap sahabat dan wong cilik tak perlu diragukan lagi. Wong cilik didefinisikan sebagai orang yang terpinggirkan, minoritas atau siapapun yang tak memiliki kuasa hidup setara apalagi sejahtera. Maka cakupan kerja-kerja Hersumpana pun meluas, ia merambah isu-isu minoritas, keragaman, toleransi dan multikulturalisme. Ia, bersama Pedro sahabatnya, sering menginisiasi acara-acara yang membangun ruang-ruang negosiasi untuk toleransi. Ia sering menyelenggarakan acara diskusi, festival atau apapun ragam kegiatan yang meluaskan ruang untuk hadirnya minoritas dan kaum terpinggirkan. Ia mengajak seniman, budayawan, ilmuwan serta agamawan untuk terlibat dalam acara-acara yang selalu dikemas populer, sehingga semua orang merasa nyaman, senang dan terhibur.

Hersum pernah mendapatkan pendidikan Seminari Menengah Mertoyudan, sekolah calon pastor di Mertoyudan Magelang. Pengalaman pendidikan itu sungguh membekas dalam hidup keseharian Hersum, yang akan tampak dalam semua kiprah dan refleksi semua kerjanya. Mulai dari komunitas Solo, LPPS Jakarta, Yayasan Pondok Rakyat Yogyakarta, sampai Satunama, Hersum  senantiasa hidup, menghidupi dan dihidupi oleh nilai-nilai moralitas sosial yang penuh solidaritas.

Pengalaman studi di Seminari Menengah Mertoyudan pun tak sekedar olah spiritualitas, namun juga intelektualitas dan estetika. Hersum, meski klebus dalam praksis sosial, toh dunia intelektualitas tak pernah bisa ditinggalkan. Ia senantiasa menyukai belajar, diskusi, menulis dan kerja-kerja penelitian. Meski sudah lama meninggalkan dunia asrama, Hersum masih suka bersikap seperti para biarawan. Ia bisa lupa waktu, bahkan lupa akan keluarga jika kerja menyangkut hal-hal yang disukai.  Sekedar cerita kecil, Hersum meminta ijin untuk menggunakan saya sebagai pemberi rekomendasi. Ia mau melamar di salah satu NGO, bekerja sebagai fasilitator di Papua. Saya dengan senang hati mendukung, juga kebetulan saya kenal baik dengan direktur NGO yang kemungkinan akan mewawancarainya. Dan betul….setelah wawancara, saya dihubungi oleh sang direktur. “Edyan mas, temenmu itu…………” begitu tiba-tiba dia berkata. “Siapa?” Tanya saya.
“Hersum itu…..,” jawabnya.
Belum sempat kutanya lagi, dia melanjutkan cerita, “ Saat kuwawancarai, kutawari untuk kerja di Papua dan baru boleh pulang Jogja setelah kerja 6 bulan…”
Belum selesai dia omong, saya potong, “Dia gak mau?”
“Tidak, lha ini orang lain mikir-mikir, Hersum malah langsung jawab satu tahun sekalian tidak pulang. Tanggung katanya!”
Saya pun cuma ketawa.
“ Kupikir dia itu hidup single, gak punya keluarga. Jebul, anaknya tiga….hehehehe..” dia melanjutkan.

Itulah Hersum, kerjanya seperti misionaris. “Misionaris awam!” jawabku sekenanya. Kami pun ngakak membayangkan Hersum.

Hersum menemukan jalan lain, ia tidak melanjutkan pendidikan seminari. Ia kuliah dan lulus dari Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Di sini ia bertemu dengan kawan-kawan baru aktivis. Setelah itu Ia pun terlibat dalam kerja-kerja advokasi wong cilik di LPPS Jakarta. Kemampuannya menjadi jaminan, ia tak susah untuk terlibat dalam proyek-proyek penelitian pada lembaga-lembaga terhormat. Hersum pernah menjadi Senior Programme  Officer pada American Friends Service Committee, menjadi peneliti pada Divisi Riset Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, untuk mengerjakan sebuah proyek HIV/AID S Policy and Programming within the Framework of Health System in Indonesia, the Australia – Indonesia Partnership for HIV (AIPH). Ia pernah menjadi peneliti pada Lembaga Studi Realino, Yogyakarta, asisten peneliti Anthropolog Budi Susanto, SJ. Bersama Caritas Indonesia, ia meneliti tentang situasi pendidikan di wilayah terpencil Indonesia. Di sini ia dibimbing oleh seorang profesor dari Jerman, yang sesungguhnya menawari dia untuk studi lanjut. Namun, keragu-raguan, membuat ia tak mengambil kesempatan itu. Ia justru studi lanjut lagi di bidang sejarah, pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Tesis yang dibimbing oleh Prof. Bambang Purwanto berjudul “Sejarah Sosial Komunitas Bong Suwung,” wilayah yang menjadi maraknya prostitusi illegal di bekas komplek pemakaman Tionghoa.

Setelah lulus Pascasarjana Sejarah, saya mengira Hersum ingin menjadi peneliti atau pengajar di sebuah lembaga riset atau pendidikan. Ternyata dugaan itu keliru. Salah besar. Hersum adalah Hersum, yang senantiasa seperti para misionaris, mencari ladang-ladang baru pekerjaan, untuk bersolidaritas, sekaligus menikmati aktivisme dan kebahagiaan hidup. Hersum senantiasa mendedikasikan secara total pada kerja pengabdian untuk sebuah laku ketulusan.

Her, sungguh, kami semua merasa tidak siap kamu tinggalkan, Kamu telah mewariskan banyak inspirasi hidup kepada kami. Kami pun hanya terbata mengucapkan selamat jalan……semoga kami bisa mengembangkan inspirasi darimu.

Bambang-K. Prihandono

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *