Kulineran di Bulan Puasa

Menyangga Keberagaman, Keselarasan, dan Kelestarian

Kulineran di Bulan Puasa

Sejak “covid”, penjual makanan bertebaran di mana-mana, di kampung-kampung pinggiran, di desa, apalagi di kota, di lorong-lorong kecil, di gang-gang sempit maupun lebar, hingga ke jalan-jalan besar. Dari makanan pokok, nasi dan lauk-pauk, hingga macam-macam minuman dan jajanan, dari yang tradisional sampai dengan yang berbau-bau kekinian. Dari yang fresh hingga yang kemasan model “chiki-chiki” dan “boba-boba”. Kulineran itu dijual on line maupun off line. Pascacovid, rupanya para penjual makanan itu tidak lantas menghilang seperti covidnya, tetapi tetap meneruskan aktivitas berdagangnya hingga sekarang. Dan tetap marak.

Memasuki bulan Ramadan, bulan puasa sebulan penuh, jajanan kulineran makin semarak. Jika dulu, di Yogya, “pasar tiban”, pasar kulineran Ramadan yang mendadak muncul di bulan puasa hanya di kawasan tertentu, misalnya di kampung Kauman, belakangan ada di mana-mana, di kawasan mana saja. Sepanjang ruas gang atau jalan berderet penjual aneka rupa makanan pokok dan cemilan berikut macam-macam minuman. Dan semuanya tampak rapi dan terkoordinasi. Dan membuat jalanan jadi suka macet-macet.

Apakah kemacetan jalan karena dipenuhi para penjual kuliner dan para pembelinya menjengkelkan? Lazimnya tidak. Kemacetan jalanan di sore hari di bulan puasa seperti sudah menjadi tradisi yang sangat dimaklumi. Perputaran ekonomi di bulan yang konon penuh berkah ini justru banyak disyukuri, utamanya oleh para pedagang. Pedagang berderet-deret di mana-mana, dan sepertinya laris semua. Sekitar jam dua siang, mereka mulai menyiapkan lapak dan dagangannya. Sekitar jam tiga, sudah banyak pedagang yang standby menyajikan dagangannya. Sekitar jam empat, para pembeli semakin banyak yang mendatangi kawasan kulineran itu. Jalanan mulai ada kemacetan. Pada jam limaan, semakin ramai lagi. Jelang berbuka puasa, banyak pedagang yang sudah kehabisan dagangannya. Namun, ada juga yang masih terus lanjut jualan hingga pasca-maghrib.

Aku termasuk emak-emak yang suka malas masak, kecuali nanak nasi. Tidak masalah karena suamiku juga oke-oke saja. Lha gimana, anak dua masih SD semua, repot kalau masih harus masak-masak juga. Yang penting saat makan tiba, lauk-pauk selalu tersedia dengan menu harian yang tidak monoton. Suami suka, anak hepi. Okelah kalo begitu!

Khusus bulan Ramadan, semakin banyak alternatif masakan dan cemilan yang tersedia di mana saja. Bahkan di sepanjang ruas jalan dekat rumah kami. Pasar kuliner dadakan ini menyenangkan sekali, sekaligus agak merepotkan juga karena memboroskan. Merepotkannya cuma agak, sih. Soalnya di bulan puasa gini, makanan dan minuman ekstra musti tersedia di meja makan. Anak-anak yang puasa sudah full seperti menuntut reward setiap berbuka. Kayaknya suamiku pun juga begitu. Pengen jajanan itu, minuman ini. Ini-itu maunya dinikmati. Aku sendiri juga begitu. Jadi serumah kompaklah. Beruntung ada uang belanja ekstra juga dari suami saat Ramadan hingga Lebaran nanti. Jadi, okelah kalo begitu!

Entik
(emak-emak hepi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *