“Peduli Tidak Sama dengan Memberi Uang”
Tulisan “Peduli Tidak Sama dengan Memberi Uang” dapat kita baca di poster yang dipasang di beberapa titik di Yogya. Poster layanan masyarakat ini merupakan bentuk kampanye agar pengguna jalan tidak memberikan sedekah kepada para “aktivis jalanan” alias pengemis, pengamen, dan sejenisnya. Pengguna jalan atau masyarakat dihimbau agar memberikan sebagian uangnya melalui lembaga sosial atau keagamaan. Poster ini, konon, dianggap Pemkot cukup efektif untuk menangani masalah sosial di jalanan.
Poster ini difungsikan sebagai salah satu sarana untuk menangani masalah sosial di jalanan. Namun, jumlah poster ini masih sedikit yang terpasang di titik-titik strategis di Yogya. Contoh poster ini dapat dilihat di perempatan Jokteng Wetan (pojok benteng timur), perempatan Tamsis (Jl. Taman Siswa), dan perempatan Badran. Itu pun kondisi poster sudah buram, sehingga perlu diganti. Penggantian dan pembaruan ini perlu dilakukan seiring bertambah maraknya para “aktivis jalanan” tersebut, serta disesuaikan dengan kondisi jalanan saat ini.
Meskipun sudah ada perda larangan memberi sedekah di jalanan, pada praktiknya masih banyak orang bersedekah di jalanan. Para pengguna jalan mungkin berpikir, dengan memberi mereka akan membantu meringankan beban hidup “para peminta-minta” itu meskipun yang diberikan tidaklah besar. Pengguna jalan banyak terpengaruh oleh tampilan dan keadaan mereka, tanpa memperhitungkan dampak memberi. Dengan kita terus memberi uang kepada mereka, berarti kita mendukung pencari berkah pada aktivitas rutinnya. Berarti juga mendukung mental pencari berkah “jiwaluk” alias “jiwa njaluk” (mental mengemis-ed.).
Para “aktivis jalanan” itu tidak hanya ditemui di perempatan, tetapi banyak di antara mereka yang masuk kampung atau perumahan. Dan mereka secara fisik masih relatif sehat dan kuat, serta memiliki “jiwa titen” untuk niteni: rumah yang penghuninya sering memberi berarti rumah tersebut siap dikunjungi ulang. Jika fenomena ini berulang di masyarakat, maka secara pelan dan pasti akan meningkatkan aktivitas mereka di jalanan.
Untuk menekan bertambahnya para “aktivis jalanan” ini, perlu juga masyarakat diedukasi. Banyak orang yang belum paham dengan kehidupan mereka. Karena jika masyarakat berpikir bahwa dengan memberi dapat membantu dan mendapat amal, artinya tidak mendukung penanganan masalah sosial di jalanan. Berarti mencetak generasi “jiwaluk”.
Edukasi tehadap masyarakat luas dapat dilakukan melalui forum-forum di masyarakat. Mungkin ini lebih efektif dari pada mengedukasi para “aktivis jalanan” itu.
Zee Beth
Pendamping lapangan anak jalanan di Yogya
Peserta Kelas menulis “Story telling – Sanggaragam