SELAMAT JALAN, BUYA SYAFII….

Menyangga Keberagaman, Keselarasan, dan Kelestarian

SELAMAT JALAN, BUYA SYAFII….

Senin, 30 Mei 2022, jam 8 pagi, akhirnya, aku dapat teman nginap di Sampit Residance di bilangan Blok M. Sejak peristiwa pingsan sehabis main tepokbulu beberapa tahun lalu, aku memang merasa lebih aman bersama teman jika bekerja jauh dari rumah. Jadi, kehadiran teman saya itu seperti seperangkat jaminan kesehatan bagiku. Namanya Budhi Hermanto (selanjutnya kutulis Budhi), teman bekerja di Yayasan Umar Kayam yang aku kenal sejak SMA. Darinya pula kedekatanku dengan Buya Ahmad Syafii Maarif terjalin. Sebagai NU wae durung, Muhammadiyah ora (belum orang NU dan bukan orang Muhammadiyah), tentu kedekatan ini seperti beasiswa tanpa tes toefl bagiku.

Betul. Aku sedang hendak bercerita tentang Buya Syafii. Berita duka kepergian beliau kudengar di tengah rapat penting Koalisi Seni, tempat berkaryaku bersama jejaring kesenian di Indonesia beberapa tahun belakangan. Maka, aku hanya sempat kaget, menyimpan duka, dan meneruskan FGD untuk rencana strategis Koalisi Seni. Setelahnya, aku hanya bisa memantaunya di akun media sosial tentang kehilangan salah satu putra terbaik bangsa ini.

Seperti biasa, Budhi tidak langsung mengetuk pintu, hanya mengirim tanda bahwa ia telah melahap soto di depan penginapan. Lalu aku menyusulnya. Membasuh muka, nyangking rokok, dan segera pesan semangkuk.

Pye wingi…?”

“Jogja berduka. Pelayat tidak berhenti. Ketika salat, dada kita berdempet dengan punggung orang. Mepet. Saking banyaknya orang yang pingin nyalatin….”

Budhi juga bercerita para Biksu, Romo, orang-orang dari berbagai kalangan yang seperti sungai, mengalir terus ke hulunya, ke tempat di mana Buya Syafii disemayamkan, Masjid Gede Kauman, Yogyakarta.

“Aku tetap di dalam mobil, menutup kaca, dan menangis sesenggukan. Aku telepon Arifah (istrinya), memintanya datang menjemputku. Aku sangat berduka sehingga tak kuat ke mana-ma, harus ditemani….”, katanya.

Aku mendengarkan sambil menghabiskan jatah semangkukku. Ia cerita bagaimana postingannya yang kembali viral karena video Buya Syafii bersepeda, memakai topi merahnya di depan mobilnya. Ia tak berani menyalip Bapak Bangsa yang kelewat sederhana ini.

“Teman-teman bagaimana…?”, tanyaku melanjutkan.

“Heru (Prasetia) cerita bahwa sebelum pelantikan PW NU Jogja, doa bersama diselenggarakan untuk Kyai kita, Buya Syafii”, ceritanya sambil tertawa. Teman-teman NU memang selalu mampu menyelipkan canda di tengah duka. Kelewatan bukan, Ketua Muhammadiyah dinaturalisasi jadi milik NU….hahaha. Memang tidak salah sepenuhnya, Buya Syafii memang bukan hanya milik Muhammadiyah atau NU, bahkan umat islam. Beliau adalah milik bangsa.

“Dalam takziah online semalam, Gus Mus bercerita tentang hadiah lukisan yang menggambar beliau bersama Buya. Gus Mus memberitahu tentang lukisan tersebut kepada Buya. Kemudian Buya mengontak Si Pelukis, mengucap terima kasih atas tafsir seni rupanya. Si Pelukis tentu ngewel, tak bisa menahan kegembiraan menndapat pesan demikian dari Buya,”

Budhi menceritakannya sambil memberi tanda telah mengirim tautan di HP-ku. Aku membaca sebuah artikel yang ditulis oleh Buya Syafii di Harian Kompas yang menulis tentang peristiwa saling kirim pesan Gus Mus, Buya Safii, dan Si Pelukis (Djoko Susilo). Ada bagian-bagian yang sangat kontekstual untuk Indonesia kini, berikut saya kutipkan:

“Muhammadiyah-NU seharusnya tampil dan berfungsi sebagai tanda besar bangsa dan negara. Pertanyaannya kemudian adalah apakah generasi baru Muhammadiyah-NU yang lebih terbuka dan relatif punya radius pergaulan yang lebih luas bersedia keluar dari kotak-kotak sempit selama ini? Semestinya tidak ada alasan lagi untuk terus berkurung dalam lingkaran terbatas yang bisa menyesakkan nafas dan sia-sia.”

“Energi jangan lagi dikuras untuk memburu kepentingan pragmatisme jangka pendek. Islam terlalu besar dan mulia untuk hanya dijadikan kendaraan duniawi yang bernilai rendah, eman-eman (sangat disayangkan). Lukisan Djoko Susilo harus dibaca dalam perspektif masa depan yang lebih adil dan ramah untuk semua.”

Tak terasa, aku sudah beberapa menit tak meneruskan makan sisa soto, tak ngobrol. Sendiri-sendiri, kami membiarkan pipi basah oleh duka. Kami sungguh kehilangan. Doa terbaik untuk Buya Syafii.

Kusen Ali
(Ketua Koalisi Seni Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *