Yang Menang dan Yang Kalah
Ada tiga orang caleg di daerahku dari tiga partai yang berbeda yang mencalonkan diri kepengen jadi wakil rakyat saat Pemilu tanggal 14 Februari lalu. Dua orang berasal dari kampungku, satu orang dari kampung tetangga. Yang dari kampung tetangga aku nggak kenal. Yang dari kampungku, satu caleg kukenal baik.
Ketiga caleg yang semuanya laki-laki itu sebelum hari H pencoblosan melakukan “serangan” terhadap warga kampungku untuk menarik massa agar mencoblosnya. Yang dari kampungku, keduanya melakukan “jurus” berbeda terhadap kami, warga kampung. Yang seorang mengedarkan semacam undangan ke semua rumah serupa ulem-ulem manten dengan kertas berwarna yang bagus yang berisi foto diri beserta uraian tujuan, visi-misi, dan implementasinya. Caleg satunya memberikan ke setiap rumah sepaket bingkisan dalam tas kain yang bersablon foto diri plus nomor urutnya, berisi sebuah sajadah dan sebuah termos berikut 2 cangkirnya bersablon nama dan nomor urutnya, tanpa uraian penjelasan tetek bengek.
Sedangkan caleg dari kampung sebelah rupanya justru paling gigih dalam melakukan “serangan” terhadap warga kampungku. Ia mengedarkan undangan untuk pertemuan yang diberi judul: sosialisasi. Undangan dibagikan kepada semua warga yang sudah berhak ikut pemilu. Jadi jika dalam satu rumah ada tiga orang yang sudah berhak ikut coblosan, maka ada tiga undangan untuk menghadiri pertemuan. Dalam pertemuan itu si caleg memperkenalkan diri dan menguraikan tujuan-visi-misi berikut program-programnya jika ia terpilih nanti. Dan di akhir pertemuan, si caleg membagikan suvenir ke setiap yang hadir berupa sepotong kain berbahan batik untuk kembaran sekampung.
Kini, pemilu telah usai. Quick count sudah selesai, real count hampir selesai. Dan sudah bisa dipastikan siapa caleg yang bakal jadi wakil rakyat, dan siapa yang gagal. Dan ternyata dari ketiga caleg di daerahku itu, yang dua berhasil lolos, yang seorang gagal. Tetanggaku yang “cuma” kasih undangan cantik bak ulem-ulem penganten itu ternyata zonk.
Mengapa? Apakah karena ia terlalu jujur untuk melakukan “money politics” atau apa? Aku tidak tahu pasti. Mungkin memang jujur. Tapi orang-orang kampung yang kenal baik dengan si caleg ini kebanyakan mengatakan bahwa ia memang baik dan pintar tapi pelit. Oh!
Riyani
(Warga kampung)