GIAT-UMYEK LAKSANA “GABAH DEN INTERI”
“Akan hilang lenyap kekolotan, akan hilang lenyap ‘kedusunan’, akan hilang lenyap ‘keulerkambangan’ – ya, bangsa Indonesia akan menjadi satu bangsa yang giat-umyek laksana ‘gabah den interi’ oleh industrialisasi itu – akan hilang lenyap samasekali barangkali apa yang dinamakan ‘adem tentreming bawana’ – akan bergegar-gegap-gempitalah udara dengan gemuruhnya traktor dan gentarnya mesin – orang boleh menyenangi atau tidak menyenangi hal ini… tetapi terang dan nyatalah bahwa industrialisasi adalah satu-satunya jalan untuk menambah kekayaan masyarakat dan Negara, terang dan nyatalah bahwa industrialisasi bagi bangsa Indonesia adalah satu soal hidup atau mati,” kata Mbilung berapi-api dengan suara sopranonya melengking-lengking mengikuti irama hati dan imajinasi.
“Byuh, byuh, byuh, ya’ya’o!” komentar Togog dengan suara basnya. “Ora sah ngoyo, santai wae! Pasti bukan puisimu sendiri!”
“Itu bukan puisi, Gooog… tapi pidatonya presiden Indonesia yang namanya Soekarno alias Bung Karno pada waktu ulang tahun kesepuluh proklamasi kemerdekaan rekiblik Indonesia,” jawab Mbilung setengah menjerit.
“Itu puisi banget!” sahut Togog santai.
“Tapi bentuknya kan prosa!” potong Mbilung.
“Weleeeh, itu kan bentuknya! Tapi jiwanya kan puisi. Puisi itu soal jiwa Lung, jiiiwa!” tandas Togog. “Bung Karno itu berjiwa puisi, penuh imajinasi, penuh metafora, penuh lambang, dan yang lebih penting lagi penuh cita-cita, penuh impian, penuh visi masa depan untuk bangsanya, rakyatnya, masyarakatnya, negaranya. Karena itu kata-katanya memancarkan puisi menembus batas-batas ruang dan waktu….”
“Mangkanya kuhapalkan potongan-potongan pidato Bung Karno. Kan dalangnya sudah pesan padaku agar kuucapkan kutipan-kutipan pidato itu pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan rekiblik Indonesia tujuh belas Agustus depan,” jawab Mbilung.
“Tragis, tragis!” komentar Togog.
“Mangsudmu?” tanya Mbilung.
“Banyak impian Bung Karno meleset,” jelas Togog.
“Misalnya?” cecar Mbilung.
“Impian agar giat-umyek laksana ‘gabah den interi’,” jawab Togog.
“Di mana melesetnya?”
“Mangsud Bung Karno kan giat-umyek dalam berindustri, berkreasi, berinovasi, berproduksi… tapi yang terjadi kan giat-umyek berkonsumsi, berbelanja di mol-mol, nongkrong-nongkrong, balap motor di jalanan, berfoya-foya, berlibur panjang, berkumpul-kumpul meluapkan emosi, ubyang-ubyung, kerumunan, keroyokan, gerudukan, tawuran, geng-gengan, ndang-ndutan…,” jelas Togog.
“Ha, ha… jogetan, goyang pinggul, senggol-senggolan… ini sudah klop dengan ajaran ustad-ustad dan kiai-kiai agar kita selalu berjamangah,” cerocos Mbilung.
“Husss! Jaga mulutmu!” potong Togog. “Berjamangah itu kan ajaran Nabi! Nanti kamu digasak laskar berani mati!”
“Lhoh, istilah berjamangah kan sudah dipakai di luar kegiatan agama: korupsi berjamangah, maling berjamangah, membobol bank berjamangah, menguras keuangan negara berjamangah, membunuh berjamangah, bahkan memperkosa berjamangah… Apalagi di jaman pandemi kopad-kopid ini, libur panjang berjamangah, mudik berjamangah, melanggar prokes berjamangah, membobol sekat jalan berjamangah, kena kopid berjamangah, mati berjamangah, sampai dikubur pun berjamangah… ha, ha…” komentar Mbilung.
“Husss! Kalau mengeritik jangan keras-keras, nanti kalau kedengaran dalangnya kamu nggak boleh ikut pentas, nggak boleh membacakan puisi-puisi Bung Karno,” nasehat Togog.
“He, he, he… ini namanya wayang lupa diri,” jawab Mbilung terkekeh-kekeh.
Darwis Khudori
Paris, 04/07/2021