Husnulkhatimah

Menyangga Keberagaman, Keselarasan, dan Kelestarian

Husnulkhatimah

Oleh: Abdi

Ini ajalku. Satu hela nafas lagi, aku akan pergi. Kulihat sekelebat malaikat berebut menyambut. Ah, itu dia si malaikat maut.  Mukanya tak seseram yang diceritakan kitab suci. Wajahnya terlihat berseri, lebih mirip bidadari. Mungkin karena ia mengintip amal salehku. Ya wajar saja, aku kan ahli ibadah yang rajin menuntut ilmu. Sepanjang hidupku yang tinggal tiga perempat nafas ini, dari ustaz, kiai, habib, syarif, sampai wali sudah kusambangi. Kuhirup sebanyak-banyaknya ilmu agama dari mereka. Kulacak riwayat tiap nasehat hingga kupastikan itu adalah syariat. Tentu saja, orang-orang sakti yang suka mencampur agama dan tradisi tak masuk hitungan. Mereka itu najis jidan, haqul yaqin masuk neraka paling dasar. Beragama kok dicampur-campur, itu perbuatan orang-orang kufur. 

Astaghfirullah…

Tetiba aku teringat masa muda, ketika masih seperti mereka. Di kampung, aku pemuda yang paling rajin saat kenduri. Semenjak sore kusiapkan diri dengan mandi air kembang paling wangi. Kuusahakan datang duluan, siapa tahu sohibul hajat butuh bantuan. Doa dan jopa-japu mantra kenduri kuhafal di luar kepala: dari versi Arab, Melayu, hingga bahasa Jawa paling halus yang hanya dipahami orang-orang tua. Kurapalkan semua itu dengan suara paling lantang. Jika pak kaum memimpin doa, aku mengamini dengan mengambil suara dua. Agar doa itu terdengar merdu sehingga para danyang dan nenek moyang terharu. 

Duh, danyang dan nenek moyang …
Itu jin yang bergentayang!
Syirik besar, Syaitonnirrojiiim!

Tapi alhamdulillah, aku mampu hijrah. Mungkin karena aku hamba pilihan. Seorang ustaz yang kutemui saat mengais ilmu di kota mengangkatku dari lembah kegelapan. Guruku yang lulusan dari tanah suci menyadarkanku kalau kebenaran itu hanya satu, karena Tuhan juga cuma satu. Tuhan itu mahasuci, maka ajaran-Nya harus murni. Ibadah campur itu bidah. Itu sisa dakwah kepalang ajar yang kadung tersebar sementara sang penyebar keburu berpulang. Itu kecelakaan sejarah. Tiada surga bagi pelaku bidah. 

Duh! Sia-sia sudah susah-payahku selama ini. Ancaman pemungkas itu bertubi-tubi menghajar sampai seluruh sendiku bergetar. Gumpalan ketololan di pucuk-pucuk pembuluh otakku seolah jebol, mengalir bersama luruhan kepercayaan penuh kolesterol. Cuih! 

Semenjak itu, aku bertekad untuk menyadarkan sekelilingku. Betapa pun, aku calon penghuni surga. Akan kubawa orang-orang di kampung turut serta: Pak Margi sebelah rumah yang juragan kain, Pak Junaidi pedagang emas yang tukang kawin, Pamanku Abidin si petani paling rajin, juga Pak Ikun imam masjid yang selalu gagal mengucap huruf ghoin. Ah iya, Bu Raharjo kepala dukuh itu akan kusadarkan juga, haram hukumnya wanita jadi pemimpin. Bisa celaka! 

Sayang sekali, kedua orang tuaku sudah tiada. Namun tak apa, pahala mengembalikan jiwa-jiwa tersesat itu ke jalan yang lurus sudah lebih dari cukup untuk mengentas orang tuaku dari neraka. Apalagi sekarang aku rajin berdakwah. Hampir tiap langgar, musala, hingga masjid raya di kota kuisi dengan khutbah. Setiap nasehat kumulai dengan kutipan ayat. Jika 1 huruf alquran senilai 10 kebajikan, hitung saja berapa banyak tabungan pahala yang kusimpan. Aku yakin, Raqib si malaikat pencatat itu bakal kewalahan.

Hhhhhuuuu….Setengah nafas lagi…aku akan berada dalam pelukan bidadari…

Bidadari yang ribuan kali lebih cantik, semok, dan selalu perawan. Tak seperti para wanita kampung kecentilan dan sok rupawan itu. Kuajak mereka pergi ke surga bersama, eh malah mentah-mentah aku ditolaknya. Sungguh perempuan tak tau diuntung. Sudah kurendahkan diriku untuk meminang mereka calon penghuni neraka. Lihat rambut mereka, diumbar seperti surai kuda. Mungkin mereka memang sebinal hewan mamalia. Ada juga yang memakai kerudung, tapi tanggung. Senyum tipis dan ranum bibir mereka yang manis masih terlihat lawan jenis. Yang semacam ini malah  mengundang fitnah. Sudah coba kuingatkan dengan jalan kuajak nikah. Lagi-lagi mereka emoh. Sungguh wanita bodoh!

Tapi memang Tuhan mahadil. Akhirnya, aku kawin dengan calon penghuni surga seperti diriku. Tak cuma satu, tetapi empat sekali ijab. Para bidadari bumi ini taatnya bukan main, kusuruh jongkok mereka jongkok, kupinta lompat mereka lompat. Saking taatnya, kadang aku merasa mereka bukan manusia, melainkan malaikat tanpa hasrat. Tapi sudahlah, kusyukuri itu semua. Sebentar lagi bidadari sesungguhnya akan menyambutku. Bidadari dengan dada menari-nari yang akan membawaku ke taman Firdaus yang abadi.   

Selamat tinggal dunia yang fana. Selamat datang oh surga.

Huuuuuu.… masih tinggal seperempat nafas …setelah itu hidupku pungkas.

Sungguh lama sekali perjalanan satu nafas ini. Mungkin ini juga yang dialami para nabi, para kekasih Allah yang telah mengatasi lingkaran hidup dan mati. Bagi para nabi, waktu itu nisbi. Ingat kisah Isra Mikraj atau Isa yang diangkat ke surga. Atau jangan-jangan aku ini sebenarnya nabi. Tanpa gentar kuseru banyak orang ke jalan yang benar. Memang aku tak pernah dilempari batu, tapi cemoohan dan serapah orang sudah menjadi sarapanku. Memang aku tak pernah diusir, tapi aku juga tak pernah mangkir. 

Baiklah, mungkin aku bukan nabi. Akan tetapi, setidaknya aku setaraf wali. Seingatku, tak satu pun perintah syariat yang lupa kujaga, tak secuil larangan pun yang berani kudekati. Taat pada-Mu adalah jalan ninjaku. Hanya pada-Mu. Pada-Mu. Muuu …

Uufffff…

Ffff…

Fff…

Ff…

F…

..

.

.

.

.

Ah, sudah berapa lama ini? Sepertinya baru beberapa saat lalu nyawaku meninggalkan rambut paling ujung. Alam kubur yang katanya begitu menakutkan ternyata hanya sekejap mata. Baru saja aku menghela ruh di alam baru, tiba-tiba saja suara mahakencang itu membangunkanku.

Sungguh lancang malaikat peniup sangkakala! 

Harusnya dia meniup dengan sayup dan lembut. Selembut malaikat maut yang mencabut ruh hamba taat bergelimang pahala sepertiku. Ah, tapi sudahlah, namanya juga malaikat yang lama menganggur, harap dimaklumi jika tugas perdananya ngawur. Kasihan, dia tidak bisa mencoba alat tiupnya terlebih dahulu karena sekali hembusan membuat seluruh semesta berantakan. Baiklah kau wahai makhluk yang ketaatannya setingkat di bawahku. Kuampuni dirimu. Tidak akan kuadukan kepada Tuhan kecerobohanmu itu. 

Lagipula, jalan berbunga menuju surga sudah menunggu. Jalan ini terbentang dari liang lahat tempatku dikubur, membelah padang mahaluas sisa kiamat yang tak sempat kusaksikan. Tak ada lagi gunung-gunung menelungkupi atau pepohonan yang berjajar merambati tiap jengkal daratan. Hanya ada padang dengan butiran pasir sebanyak makhluk yang pernah diciptakan. Kulihat manusia, binatang, jin, dan segala makhluk halus berdesak-desakan dan membentuk barisan. Para malaikat sibuk mengatur para iblis yang tak sabar menunggu giliran. Harusnya memang mereka tak perlu antri, tempat mereka sudah pasti: kerak neraka paling dasar, sedasar-dasarnya dasar. 

Untunglah amalku berlimpah ruah. Tak perlu aku mengantri seperti ikan teri. Tak perlu pula dihitung amalnya. Aku yakin malaikat pencatat kebaikan masih belum tuntas menghitung segala ganjaran atas ketaatanku. Buktinya, jalan yang kutapaki saat ini lurus bebas hambatan. Tak kulihat seorang pun di depan ataupun di belakangku. Hanya ada aneka bunga dengan wangi menguar di kanan dan kiri. Sepertinya jalan ini diciptakan untukku seorang. Aku melangkang satu demi satu sambil membayangkan surga yang akan segera kuhuni. Tak perlu terburu-buru, toh tempat yang kutuju juga sudah mesti. 

Akhirnya , sampailah aku di ujung jalan penuh bunga, di mana pilar-pilar memutih bagaikan cakrawala memisahkan mereka yang sudah dihitung amalnya. Kulihat pintu surga sudah melambai-lambai merindukan kehadiranku. Dari baliknya, para nabi dan wali kekasih Ilahi tengah bercengkerama, minum bersama arak-arak surga ditemani bidadari yang tak kepalang cantiknya.

Oh, inilah surga yang kurindukan.
Oh, inilah hasil perjuangan.
Oh, inilah tempat yang dijanjikan…

“BERHENTI!”

Seketika tubuhku kaku. Kurang satu langkah lagi kakiku melewati pintu surga bertahta permata. Kurang satu jengkal lagi, aku penghuni surga yang resmi. Tapi, suara itu membuyarkan semuanya. 

“Wahai hamba-Ku yang taat, lompatlah kau ke dalam neraka!”

Aku terperanjat! Seterperanjatnya terperanjat. 

“Tuhan, kenapa Engkau masukkan aku ke dalam neraka?
Aku hamba-Mu yang paling taat selama di dunia…
Kau tidak adil Tuhan!” gugatku.

Kuteruskan gugatanku kepada Tuhan dengan mengingatkannya satu per satu tentang amalku. Ku tarik malaikat pencatat kebaikan dan kuseret dia di hadapanku. Siapa tahu gara-gara dia luput, aku yang harus menanggung pulut.

“Kau sudah menerima ganjaran atas amalmu,” jawab Tuhan.

“Tapi kan itu cuma ….” aku masih berusaha membela diri.

“Wahai hamba-Ku, lompatlah kau ke dalam neraka…” ulang Tuhan sekali lagi.

“Tidak, aku tak mau!” Kemarahanku meledak sudah bersama kekecewaan atas penipuan terbesar sepanjang sejarah semesta. 

“Lho, katanya taat?” 

Mudal, 2021

CATATAN:

Cerpen ini merupakan karya terpilih peserta Workshop “Menulis Cerpen Berbasis Mitos” yang diselenggarakan Sanggaragam.org bekerja sama dengan Pokja Gubuk Putih, LIKE Indonesia, dan Kalurahan Panggungharjo dalam 6 kali pertemuan tatap muka pada bulan Oktober – Desember 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *