IRONI DINAMIKA KOTA YOGYAKARTA
Penciptaan tidak bisa lepas dari kemampuan imaginatif. Akan tetapi imaginasi juga membutuhkan ruang-ruang yang memungkinkan orang menemukan inspirasi dalam mengolah imaginasinya. Kota adalah ruang dinamis yang melahirkan banyak karya-karya seni, sastra, arstiek, lukis, dan rupa-rupa produksi kreatif lain. Kota Yogyakarta sebagai kota bersejarah sekaligus menjadi ikon bagi tumbuhnya kreativitas sastrawan yang legendaris. Pada tahun 1970-an, tumbuh berbagai ruang-ruang kreatif anak-anak muda yang menggembleng diri dalam berbagai wadah aktivitas seni sastra. Malioboro merupakan ikon yang menjadi simpul lahirnya sastrawan. Ada sosok Umbu Landu Paranggi yang ditahbiskan sebagai ‘Presiden Malioboro’ para seniman muda di zamannya. Umbu Landu Paranggi dengan Persada Studi Klub (PSK) menjadi pendidik para seniman seperti Emha Ainun Najib, Eha Kartanegara, Mustofa W Hasyim, Linus Suryadi AG (alm), Korie Layun Rampan (alm), Darwis Khudori, Iman Budi Santosa (alm), dan masih banyak lagi. Malioboro tidak hanya ruang komersil, pusat perbelanjaan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Tetapi Malioboro juga tumbuh menjadi spot yang ‘nyeni dan unik’. Malioboro menjelma menjadi ruang tumbuhnya daya imaginasi para seniman teater, penulis sastra, musik, film dan juga kesenian tradisi khas lokal, dalam menempa kualitas karya seninya. Para penulis ini juga didukung oleh industri kreatif media massa yang menjadi kanal ekspresi mereka seperti Kedaulatan Rakyat, Harian Bernas, Masa kini dan Pelopor Yogya.
Pada ujung Jalan Malioboro, ada ruang tumbuhnya kreativitas panggung budaya , Yogyakarta, Senisono. Tempat para seniman mengekspresikan imaginasi karya kreatifnya. Tempat manggung, tempat bertemu, para seniman, tempat kongkow yang asyik, tempat berbagi pengalaman, di atas semua itu, tempat ‘belajar’. Di Malioboro, kita juga menemukan bioskop, tempat ‘tempat hiburan murah’, tempat masyarakat menikmati dan mengapresiasi karya-karya film nasional yang mekar pada waktu itu. Pendek kata, Malioboro adalah ikon kota yang menjadi ‘ruang srawung’, ruang belajar berbagai seniman, sastrawan, pemusik jalanan, dan kehidupan keseharian orang-orang biasa yang berjuang, menghidupi diri dan identitasnya.
Ruang belajar mendidik ‘selera dan rasa’ budaya itu juga hadir di Pendopo Dalem Kadipaten, yang menjadi tempat belajar Seni Drama dan Film. Di pendopo itu berdiri ASDRAFI. Yang melahirkan tokoh perfilman nasional seperti Teguh Karya, Arifin C. Noer, dan Putu Wijaya. Kampung juga menjadi ruang belajar mendidik ‘rasa’ para seniman Teater yang tergabung dalam Bengkel Teater yang digawangi oleh Aktor kesohor, WS. Rendra mengembangkan proses kreatifnya di tengah Kampung Patangpuluhan, Kota Yogyakarta. Rendra dan teman-temanya berlatih di tengah kampung, ditonton oleh banyak anak-anak dan orang-orang kampung. Selain itu, Sebelah Utara Kampung Patangpuluhan, di Gampingan juga menjadi ruang kreatif bagi para seniman lukis, dan perupa yang ternama dengan ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia). Kota Yogyakarta seolah tidak pernah berhenti melahirkan komunitas-komunitas kreatif selanjutnya seperti Teater Gandrik, Teater Alam, Teater Garasi dan Komunitas-komunitas seni lainnya.
Kota Yogyakarta pada zamannya menjadi konteks bagi tumbuhnya imaginasi kreatif para seniman dalam berbagai genre. Kota menjelma menjadi ruang-ruang ‘kreatif, toleran, dan kondusif’ bagi proses pendidikan ‘rasa’, menguji ‘selera’ dan mematangkan ‘intuisi’. Sehingga Malioboro menjadi sebuah judul lagu gubahan kelompok Keroncong Etnik, Kua Etnika, pimpinan Djaduk Ferianto (alm), dan juga KLA yang mengabadikan Yogyakarta sebagai lagu hitnya pada tahun 1990an. Ada juga kelompok musik Swara Ratan (KSR) yang banyak membuat lirik dan lagu jalanan. Pertanyaannya, sekarang apakah Kota Yogyakarta yang dulu memberikan ‘iklim kreatif’ bagi pertumbuhan pendidikan ‘rasa, dan selera’ kebudayaan masih ada? Atau telah berganti dengan hiruk-pikuk kemeriahan ‘pasar’ pada setiap sudut. Setiap penggal ruang di Malioboro telah menjelma menjadi spot-spot komersial dari ujung ke ujung. Ruang-ruang ‘srawung dan simpul kreatif kota telah digusur menjadi pusat-pusat perbelanjaan, dimana semakin sedikit ruang belajar tentang ‘rasa, kehalusan budi pekerti, dan selera’ akan tetapi orang memanjakan diri dalam arus ‘konsumerisme’ dan tradisi ‘leisure’. Malioboro hanya dikenal menjadi spot kongkow bagi wisatawan, yang haus untuk membelanjakan rupiah dan memuaskan rasa dahaga dan membeli kenyamanan ‘sejarah budaya’ Yogyakarta yang sesungguhnya mati suri oleh ganasnya kapital.
Di setiap sudut kota Yogyakarta, ruang-ruang telah berubah menjadi ‘tontonan dan pameran’ hasrat modernitas, dengan selera yang seragam. Hotel-hotel berbintang, hotel melati, hingga rumah-rumah hunian disulap menjadi homestay untuk memanjakan ‘para voyeurs’. Apakah ini tanda kematian ‘pendidkan selera dan rasa’ ruang-ruang kreatif sebuah kota? Ataukah wajah seni telah sedemikian tunduk oleh gegaman selera pasar? Tampaknya Kota sekarang telah mengalami perubahan signifikan. Kosumerisme radikal telah menjadikan kota ‘kehilangan ruh’ keterbukaannya. Yang mengusik perasaan budaya, dalam waktu bersamaan sekarang Kota Yogyakarta justru bersemi kantong-kantong ‘ pengerasan nuansa agama’ yang memenuhi sudut-sudut ruang publik. Kombinasi kapitalisme dan kepatuhan agama ini menjadi sedemikian massif menghegemoni ruang-ruang kota hingga di tingkat Rukun Tetangga. Sungguh pemandangan absurd, jika bukan sebuah ironi. (Red)