PERSINGGAHAN DAN PERSEMBAHAN
Adakah yang lebih tidak menggembirakan ketimbang berbincang tentang maut, dijemput maut, tentang mati, dibaui aroma malaikat pencabut nyawa, terteror dementor, bayang-bayang hitam yang menghisap dan merenggut hidup hingga nafas tidak lagi bersisa? Kematian yang niscaya sekaligus tidak niscaya kapan datangnya, lebih sering bermakna denotatif. Biasanya ada pilu pada lelayu ketimbang rasa suka cita. Juga rindu untuk yang pergi dan tidak kembali. Kecuali barangkali pada matinya penjahat atau yang bejat.
Hanya orang gila yang paling merdeka rupanya, lantaran tidak pernah berhitung tentang hidup dan mati. Sementara orang yang benar-benar salih, konon, tidak perlu menunggu-nunggu tua untuk siap menyambut kematian setiap saat. Juga para pemberani yang berlaga menyabung nyawa demi apa pun yang diperjuangkannya. Juga yang nekat-nekat karena tidak lagi dapat berpikir sehat, atau yang sehat-sehat tapi memang niatnya sudah bulat. Siap mati!
Tapi kebanyakan orang tidak siap mati kalau ditawari. Takut. Maunya hidup. Dan sehat. Kalau sakit berobat. Dan kadang bertobat. Meskipun kalau sembuh bisa saja kumat. Dan tidak setiap orang percaya pada kehidupan setelah kematian. Tidak semua orang beriman, bahwa kematian bukanlah akhir kesadaran. Mati ya mati. Selesai. Begitu. Entah, apakah hukum kekekalan energi tiba-tiba mengalami anomali pada peristiwa kematian?
Sebaliknya, jika mati dipercaya sebagai kembali ke asal mula dan tujuan hidup, sangkan paraning dumadi, maka hidup hanyalah sekedar mampir ngombe. Dunia ini hanyalah persinggahan. Jadi fana saja. Dan jika kematian diyakini sebagai gerbang menuju kesadaran yang sempurna, maka mati merupakan proses persembahan menuju ke keabadian. Dan sesungguhnya, hanya yang sudah mati yang paling tahu kebenarannya.
Sementara tinggal milik yang hidup sekaligus sadar saja untuk dapat berangan-angan dan mereka-reka ingin mati bagaimana. Mati dalam damai lazimnya menjadi harapan setiap manusia. Lebih-lebih mati yang indah; mati setelah menuntaskan kebajikan dalam kegembiraan karena rasa syukur yang tak berkesudahan, tanpa diiringi kesakitan berkepanjangan, tanpa meninggalkan kerepotan bagi yang ditinggalkan; mati husnul khatimah.
Tapi siapa bisa pilih-pilih waktu untuk mati? Lebih-lebih di saat pandemi begini, ketika manusia sedunia musti berperang melawan musuh yang gaib, corona yang tak kasat mata saking reniknya?
Duh Gusti, jika mati bagian dari persembahan, dan dunia ini adalah persinggahan, maka mempersembahkan kematian, mau tidak mau, siap tidak siap, tentulah benar keniscayaan.
Rinawidya