PENATAAN PERABOT RUANG DI DEPAN SENTHONG MENURUT TATA NILAI ORANG JAWA DI KOTAGEDE
Foto: Senthong rumah Bpk. Tjokrosudarmo di Kampung Alun-alun, Kotagede.
Penataan perabot ruang depan senthong merupakan tradisi masyarakat Kotagede dalam memberlakukan ruang depan senthong yang dimiliki. Sehingga hadir sebuah keindahan yang seperti dipakemkan di masa lalu, diteruskan oleh generasi berikutnya yang masih mempunyai kenangan indah tidak terpaut jauh dari generasi awal. Sayangnya, sampai sekarang hal ini mengalami keterputusan pengalaman, sehingga generasi sekarang sampai tidak mengerti dan tidak mau mengerti kaidah tradisi menata parabot ruang depan senthong.
Melalui momentum Festival Budaya Kotagede 2021, tradisi lama tersebut diangkat kembali ke permukaan, sebagai pesan untuk membangun kesadaran masyarakat, khususnya pemilik ruang depan senthong, untuk mengembalikan suatu tata nilai budaya yang pernah dimiliki dan menjadi kebanggaan masyarakat Kotagede.
Kenapa harus senthong? Senthong bagi masyarakat Kotagede memiliki tatanan nilai tersendiri. Ia tidak hanya sekedar ruang sempit yang tanpa makna. Ruang sempit itu ditiupkan roh misteri, berdasarkan kesepakatan ataupun tidak dari masyarakat Kotagede di masa lalu. Sehingga senthong dipahami penuh misteri, disakralkan, dimuliakan, dipuja dengan kepercayaan maupun tanpa landasan kepercayaan. Pendeknya, senthong merupakan ruang yang memiliki keistimewaan bagi masyarakat Kotagede lama, dibandingkan ruang-ruang lainnya dari seluruh pembagian wilayah tataruang, peran, dan fungsinya di bawah atap bangunan rumah tradisional masyarakat Kotagede.
Rumah merupakan salah satu ekspresi dinamika kehidupan masyarakat Kotagede yang terwujud dari waktu ke waktu. Ekspresi, baik itu merupakan tampilan teknis konstruksi, tampilan detail maupun keseluruhan bentuk atap, pemilihan material, termasuk kaidah penataan ruang.
Melalui perwujudan karakter rumah pada suatu kawasan di Kotagede, dapat ditengarai keunggulan nilainya, serta kekentalan sejarah yang melingkupinya. Bahkan perjalanan panjang sejarah kehidupan masyarakat Kotagede dapat ditengarai dan ditelusuri melalui sosok rumah-rumah tersebut.
Rumah di kawasan cagar budaya Kotagede memiliki brand image yang mudah dikenali. Tidak jarang dengan hanya menyebut Rumah Kotagede, masyarakat luar yang sudah memiliki pengalaman memasuki Kotagede, sudah membayangkan keunikan bentuk tampak maupun detil spesifik rumah tersebut. Demikian juga mengenai tata ruang dalam maupun ruang luar hingga hubungan antar ruang dalam dan luar, yang memiliki kekhususan tersendiri.
Penataan Parabot Ruang Depan Senthong
Salah satu tata ruang pada rumah tradisional Jawa, baik limasan maupun joglo, ada suatu ruang yang khas dan spesial, terletak di depan senhtong.
Sudah menjadi kaidah secara umum dan menyeluruh, bahwa masyarakat Kotagede lama senantiasa menghias ruang depan senthong dengan perabot ruang. Perabot disusun secara simetris kanan-kiri mengapit gawang senthong tengah. Biasanya, perabot ruang yang muncul di ruang itu, terdapat almari cunduk berukir, cermin berornamen ukir pada frame pinggiran, tombak-tombak warisan peninggalan leluhur, potret sepasang leluhur perintis rumah awal, lampu hias di kiri-kanan, lampu gantung, serta pernik-pernik penunjang lainnya.
Penataan perabot ruang depan senthong, merupakan kelangenan belaka pemilik rumah, karena yang bisa menikmati keindahannya hanya pemilik rumah. Meskipun begitu, sikap dan tindakannya termasuk bagian dari tata nilai budaya masyarakat Kotagede di masa lalu. Dan sampai sekarang masih ada juga yang memeliharanya.
Tampilan fisik perabot ruang depan senthong merupakan kekuatan utama pemandangan isian tata ruang bagi pengembangan kawasan budaya Kotagede. Melalui pemanfaatan dan pelestarian yang tepat, benda-benda budaya dalam bentuk penghias pengisi tata ruang akan menjadi modal sosial, budaya, bahkan ekonomi pemiliknya, melalui perencanaan lainnya yang bisa dikaitkan.
Ruang kelangenan di masa lalu itu mengalami pergeseran karena ketidakmengertian generasi pewarisnya. Atau karena berganti pemilik melalui proses jual-beli, yang pemilik baru tersebut kebetulan bukan datang dari masyarakat Kotagede. Sehingga banyak yang mengubahnya untuk fungsi lainnya.
Melalui webinar dengan tema senthong ini, dimaksudkan agar masyarakat Kotagede yang masih memiliki, memelihara, dan merawat senthong-senthong miliknya, tetap terus disarankan agar melanjutkan tradisi tersebut. Sedangkan bagi masyarakat milenial Kotagede, dapat ditindaklanjuti dengan melakukan edukasi, bahwa menata perabot ruang depan senthong merupakan bagian dari sikap budaya masyarakat Kotagede yang laik dipertahankan.
Berdasarkan pembagian fungsi, ruang depan senthong merupakan ruang privat, untuk kepentingan pembicaraan yang bersifat pribadi keluarga. Karena merupakan ruang privat, tidak semua orang bisa menengok keindahan penataan perabot ruang depan senthong yang dimiliki.
Semula penataan perabot ruang merupakan tradisi pakem yang disukai masyarakat Kotagede pada zaman dulu. Penataannya pun menunjukkan strata sosial seseorang, dilihat pada pilihan perabot yang indah dan mahal dengan tampilan artistik.
Kini, seiring pergeseran zaman, terjadi juga pergeseran minat. Banyak masyarakat yang abai, tidak tertarik lagi menata ruang depan senthong dengan perabotnya yang indah dipandang untuk menjadi kebanggaan miliknya. Banyak yang diterlantarkan, atau disekat-sekat untuk fungsi lainnya.
Melalui Festifal Budaya Kotagede dengan tema senthong ini, diharapkan masyarakat Kotagede tergerak untuk mencintai kembali seni penataan ruang depan senthong miliknya dengan perabotan, sebagai bagian dari budaya “senthong”yang khas.
Tidak Mudah Memotret Ruang Depan Senthong
Masyarakat umum dari luar Kotagede, sudah biasa masuk kawasan Kotagede. Mereka memotret jalan, lingkungan, kawasan, atap-atap rumah, koridor antar teriris rumah, sudut-sudut, tepian, belokan, jalan buntu, joglo, pendapa, dan emper. Akan tetapi, tidak gampang memotret senthong. Karena ruang ini sifatnya sangat privat, tidak untuk dinikmati umum, sehingga untuk memotretnya perlu melakukan pendekatan personal terhadap pemilik rumah.
Prospek ke depannya, jika dikaitkan dengan Kotagede sebagai destinasi wisata, maka ruang depan senthong dengan penataan parabot, dapat menjadi potensi daya tarik wisata yang menarik. Umpamanya, dapat dicoba dengan paket wisata terbatas berkunjung sebagai tamu (dhayoh-dhayohan) pada keluarga masyarakat Kotagede, yang ditemui di ruang depan senthong. Gagasan seperti ini perlu perencanaan sosial yang baik, dengan pendekatan yang baik juga. Paket dhayoh dhayohan ini, sudah dilakukan oleh Joko Nugroho di rumahnya di Lawang Pethuk kampung Alun Alun, melalui program live in, di mana orang asing dijamu di ruang depan senthong miliknya.
Demikianlah, program talkshow tentang senthong pada Festifal Budaya Kotagede 2021, merupakan pancingan awal agar masyarakat Kotagede kembali suka menata perabot ruang depan senthong miliknya sebagai sebuah sikap mencintai seni budaya. Sebagai pancingan awal, mestinya perlu ditindaklanjuti secara bertahap, terencana, periodik, pelan-pelan, sehingga tradisi lama ini dapat diterima kembali tanpa menimbulkan suatu goncangan di tengah ketertiban masyarakat Kotagede.
Erwito Wibowo
Ketua BPKCB Kotagede Yogyakarta