POTRET KAMPUNG JUMINAHAN NGEBONG

Menyangga Keberagaman, Keselarasan, dan Kelestarian

POTRET KAMPUNG JUMINAHAN NGEBONG

RW 14 Kampung Juminahan berada di sebelah timur  bantaran Sungai Code. Menurut penuturan sejarah lisan penduduk, RW 14 Kampung Juminahan  dahulu dikenal dengan nama JUMINAHAN NGEBONG dengan alasan sebelum menjadi pemukiman padat dahulunya di wilayah tersebut merupakan lokasi pemakaman dan kemudian menjadi tempat pembuangan sampah. Sampai sekarang ini masih ada makam Kyai dan Nyai Juminah yang masih kerabat Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat.  Konon kedua kerabat keraton tersebut menjadi  cikal bakal nama kampung Juminahan.

Kampung Juminahan/dok /DA

Kampung Juminahan RW 14 dengan perkembangan dan urbanisasi penduduk sekitar tahun 70 an satu persatu wilayah tersebut mulai didirikan rumah, sehingga yang dahulunya makam menjadi rumah- rumah penduduk. Ada proses pendudukan tanah ‘tak bertuan’, tanah pemakaman menjadi tanah hunian penduduk. Fenomena ini, hampir mirip kisah penduduk dari berbagai tempat yang mulai memadati kota Yogyakarta sejak tahun 1970an. Karena keterbatasan ruang untuk permukiman, mereka menempati tanah-tanah kosong dan kuburan. Sepanjang Kali Code mulai dari selatan Rumah Sakit Dokter Sardjito, Kawasan Terban,  Juminahan hingga Surokarsan, memang peruntukkannya adalah area kuburan.

Mereka menempati daerah pinggir Sungai Code karena lokasinya yang strategis. Dekat dengan mana saja. Menuju pusat kota, kawasan Malioboro, dapat dijangkau dengan berjalan kaki 5-10 menit saja. Selain area makam, Ledok Code, termasuk Juminahan juga menjadi daerah pembuangan sampah. Penduduk pendatang di Juminahan profesinya bermacam-macam.  Kebanyakan mencari penghidupan di sektor informal, sebagai pedagang, pemulung, tukang becak, sopir, tukang, dan rupa-rupa pekerjaan serabutan.

Akibat derasnya urbanisasi dari desa ke kota pada tahun 1970an, penghuni kampung kota Yogyakarta dipandang sebagai sumber masalah. Citra kampung-kampung di sepanjang Sungai Code dipersepsikan sebagai tempat tinggal kriminal dan penjahat kecil. Lebih dikenal dengan istilah tempat tinggal para preman kampung.

Citra kampung pinggir kali sebagai daerah hitam itu, di awal tahun 1980an ada kebijakan petrus (penembakan misterius) untuk menghabisi para ‘gali/preman’.  Kebijakan ini merupakan tindakan di  luar hukum, mirip street justice di film-film Holywood. Garnisun menjadi eksekutor para gali ini. Tidak sedikit yang salah sasaran, karena patokannya hanya berdasarkan ciri kepemilikan tattoo. Sehingga sampai sekarang, tindakan operasi khusus petrus tersebut masih menjadi PR dalam penegakan hukum bagi para korban.

Bersamaan dengan kebijakan ‘penembakan misterius’ para gali, pada tahun 1985an, pemerintah mulai membangun tempat Ibadah. Mushola didirikan pada bekas kantor DPU. Belakangan Mushola ini berkembang menjadi Masjid Al Mujahidin. Pendekatan agama ini bertujuan untuk menjadi filter serta melakukan perubahan perilaku masyarakat di pinggir kali, Juminahan menjadi lebih baik.

Pasca peristiwa 65, agama menjadi dominan sebagai ruang untuk mengembangkan ketaatan bagi warga. Disamping itu, memang diakui oleh masyarakat sekitar masjid, banyak hal positif yang dilakukan oleh pengurus masjid sejak berdiri sampai sekarang.  Keberadaan masjid menjadi tempat  warga masyarakat mengorganisir diri dan komunitas untuk mengembangkan program seperti santunan untuk fakir miskin, penyebaran dakwah, dan tempat memeringati hari-hari besar keagamaan Islam. Komunitas masjid ini memberikan layanan ke masyarakat dengan bantuan untuk pangrukti laya mulai dari menyucikan jenasah, mengafani, sampai menguburkan jenasah. Jika tidak memiliki keluarga akan dibebaskan dari seluruh biaya. Uniknya kegiatan tersebut diketuai oleh seorang perempuan, Ibu Sadiran.

Saat pandemi tahun 2020, masjid  AL-Mujahidin ini bersama pengurus takmir dan pengurus RT dan RW melakukan inisiatif  dengan pengadaan alat penyemprotan disinfektan seminggu 2 kali di Masjid dan seluruh Kampung Juminahan. Inisiatif masyarakat ini berkembang sebelum ada bantuan dari Dinas Pemerintah. Pengurus Masjid juga mengorganisir bantuan sembako dan bingkisan lebaran kepada seluruh masyarakat Juminahan tanpa memandang suku dan agama. Bantuan kepada masyarakat yang sedang  terkena covid-19 juga diberikan saat melakukan karantina mandiri di kampung tersebut.

Longsor Kampung Juminahan/dok/DA

Pada tahun 90 an pemerintah melalui program AMD (Abri Masuk Desa) telah membangun talud pemukiman di wilayah pinggiran sungai yaitu RT 56 dan RT 57. Program tersebut disambut baik oleh warga dan pengurus sehingga masyarakat bersama ABRI saling bahu membahu melaksanakan pekerjaan tersebut sampai dengan selesai. Namun karena faktor usia talud tersebut mengalami longsor pada bulan November tahun 2017 dengan satu rumah menjadi korban longsor tanpa adanya korban jiwa. Musibah tersebut menjadi perhatian semua pihak baik dari perorangan, swasta, pemerintah dari pemerintah tingkat  Kelurahan, Kecamatan dan Pemerintah Kota Yogyakarta berdatangan berpartisipasi dan berkontribusi. Bahkan Sri Sultan Hamengku Buwono X selaku Gubernur DIY dan Raja Ngayogyokarto Hadiningrat berkenan untuk meninjau langsung ke lokasi, memberikan simpati dan arahan kepada masyarakat yang terkena musibah.

Sambutan beliau  menggunakan  tutur yang halus dan sopan, paring pangandikan “ Purun mboten nek dibangun talute omahe jenengan dipotong sak meter, ben omahe iso ngadep kali “ ( Mau tidak kalau taludnya dibangun rumah- rumah yang ada dipotong 1 meter untuk jalan agar rumahnya bisa menghadap ke sungai. Kebijakan menghadap sungai ini merupakan satu kebijakan menarik untuk mengubah paradigma belakang rumah sebagai tempat sampah menjadi muka rumah dengan pemandangan Sungai Code yang bersih dan indah.

Pembangunan Talud dan Rumah Menghadap Sungai/dok/DA

Pada akhirnya melalui proses yang panjang, pada tahun 2019 talud Juminahan RW 14 dibangun oleh  Dinas Badan Penangulangan Bencana Daerah  (BPBD) Kota Yogyakarta, sehingga talud tersebut menjadi kuat dan indah dipandang mata.

Kampung Juminahan RW 14 menjadi menarik karena berada di pusat kota Yogyakarta.  Tetapi walaupun di pusat kota masyarakat warga Kampung Juminahan RW 14 tetap masih  tertinggal di bawah atau ekonomi lemah, karena rata-rata warga Kampung Juminahan RW 14 bekerja sebagai buruh di Malioboro dan Pasar Beringharjo juga sekitarnya, pedagang jagung keliling, laden tukang dan sebaginya.

Seperti kampun-kampung pinggir kali lainnya, Juminahan pinggir  Sungai Code juga menjadi pusat berbagai kegiatan masyarakat perkotaan yang tidak lepas dari persoalan sosial kemasyarakatan yang identik dengan kampung  tempat bermukimnya masyarakat miskin kota dengan tingkat kesejahteraan yang rendah. Sangat kontras dengan kawasan Malioboro yang hanya beberapa puluh meter dari pinggir kawasan Code.

Di sisi lain,  dalam hal tatanan sosial peristiwa-peristiwa keberagaman masih kita lakukan dan saling membantu dalam kesulitan, baik ketika ada  msyarakat yang sakit, ada yang meninggal dan permasalahan sosial lain.  Pertemuan –pertemuan arisan baik bapak- bapak, maupun ibu-bu masih terus berjalan sebagai sarana bermasyarakat. Salah satu yang  diunggulkan  adalah Kampung Juminahan RW 14 pernah menjadi juara kampung KB dan masih eksis sampai sekarang ini.

Wajah kampung Juminahan lambat laun mengalami perubahan menjadi semakin cantik, namun dengan penetrasi industri pariwisata, kampung-kampung pinggir Sungai Code menjadi rentan penggusuran oleh pemilik kapital besar, sebagaimana kampung sebelah Juminahan yang telah berubah menjadi Hotel berbintang 5 Jambu Luwuk.  Pembangunan kota selayaknya tetap menjaga kelestarian kampung yang organik sebagai bagian integral dari peradaban sebuah kota, apalagi Yogyakarta sebagai kota bersejarah.

Penulis Dedi Astono, Pemuda Kampung Juminahan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *