PELUNCURAN “KELANG,” BUKU KARYA HERSUMPANA

Menyangga Keberagaman, Keselarasan, dan Kelestarian

PELUNCURAN “KELANG,” BUKU KARYA HERSUMPANA

Berkenaan dengan peringatan 40 hari meninggalnya Hersumpana (Redaksi Pelaksana Web. Sanggaragam), Program Studi Sosiologi Universitas Atma Jaya bekerja sama dengan Sanggaragam – Yayasan Pondok Rakyat, Perhimpunan Our Indonesia, Aliansi Bela Garuda, menyelenggarakan acara lansir buku karya Hersumpana yang berjudul “Kelang”. Sebuah buku yang mengupas tentang perjuangan dan pergulatan hidup perempuan penenun Sikka, Nusa Tenggara Timur.

Acara yang dipandu oleh Bambang K. Prihandono dan Pedro Garuda ini didedikasikan untuk mengenang Hersumpana yang semasa hidupnya telah banyak beraktivitas dan berjuang untuk memaknai hidupnya dan turut serta membangun kehidupan masyarakat yang rukun dan damai dalam keberagaman.

Sebelum doa lintas iman yang dipimpin oleh Kyai Imam Aziz (Islam), Romo T. Puspodianto (Katholik), Vicky Tri Samekta, (Kristen), Made “Bodrex” Arsana (Hindu), Js. Cucu Rohyana ST. (Khonghucu), peserta daring disuguhi tayangan film yang dibintangi Hersumpana berjudul “Bakmi”, sebuah film tentang akulturasi budaya kuliner Tionghoa, bakmi, menu kuliner yang sudah sangat familiar dan digemari oleh masyarakat Indonesia, Jawa khususnya.

Pada sesi berikutnya, Dempta Bato, aktivis, Direktur Sumba Hospitality, Sumba, mengupas buku “Kelang”. Mas Hersumpana, demikian kata Dempta, mencoba untuk menggambarkan bagaimana sosok perempuan dalam budaya NTT yang patriarkhis memiliki peran yang sangat signifikan dalam menjaga identitas budayanya. Dalam hal ini, Hersumpana mencoba melihat kaitan antara tenun sebagai simbol dan perempuan sebagai aktornya. Bahwa tenun tidak hanya sebagai produk material, melainkan juga simbol penuh makna dalam kehidupan budaya Sikka.

Dalam konteks budaya, tenun menjadi bagian integral dalam kehidupan, mulai dari ritual adat kelahiran hingga kematian. Sehingga tenun tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar saja, tetapi juga sebagai simbol yang mengandung nilai penghargaan. Misalnya dalam konteks pernikahan, serah terima kain tenun dapat mempererat kekeluargaan antara keluarga pihak perempuan dengan keluarga pihak laki-laki, karena kain tenun merupakan simbol pembuka dialog untuk menciptakan keakraban dan kedekatan emosional, sekaligus juga sebagai penyelesai konflik. Ada komunikasi simbolik yang muncul pada saat acara penyerahan kain tenun dari pihak yang satu kepada yang lain.

Simbol-simbol pada kain yang muncul dalam pewarnaan dan pola tenunan sebagai akibat terjadinya interaksi budaya dan agama dari luar (Arab, India, Tionghoa, Portugis) merupakan cerita tersendiri tentang perjalanan peristiwa sejarah dari generasi ke generasi.

Sementara itu, masih menurut Dempta, para perempuan penenun dalam konteks budaya, digambarkan dengan sangat baik dalam buku “Kelang” ini, ialah sebagai perempuan-perempuan yang menjaga martabat dan identitas budayanya. Bagaimana perempuan yang tersubordinat dalam budaya patriarkhi menemukan ruang kemerdekaannya saat mengekspresikan kreativitasnya dalam kain tenun yang dibuatnya. Di situlah para perempuan menemukan ruang untuk berimajinasi sekaligus mengekspresikan diri.

Sedang dalam ranah domestik, kain tenun merupakan produk yang paling gampang dijual untuk mendapatkan uang, karena tenun merupakan produk yang selalu dibutuhkan dalam setiap ritual adat Sumba. Tenun menjadi alat ekonomi yang paling mudah untuk menyelesaikan masalah finansial jangka pendek, demikian kira-kira simpul Mbak Dempta terhadap “Kelang” dengan perspektif perempuan.

 

Rinawidya

 

(WA untuk pemesanan buku: 082367399788)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *