Buk Dhuwur dan Ngipik dalam Tinjauan Singkat
Tahun 1960-1980, dari Kotagede menuju Pleret melalui Ngipik masih terbentang bulak-bulak sawah panjang. Sebuah jalan panjang membelah bulak sawah dari Ngipik ke Pleret. Di belakang bulak sawah, terdapat desa-desa dengan pekarangan dan kebun yang luas. Di barat jalan terdapat desa Balong, Blado, Banjardadap, Kranginan. Di timur jalan terdapat desa Condrowangsan, Kempul, Potorono, dll. Memang ada desa yang berada di tepi jalan tersebut yang tentu saja berada di dekat Pleret, seperti Demangan, Tambalan, dan Ponegaran.
Setiap kali melintas jalan poros Ngipik – Pleret, terbayang sebuah tata ruang agraris yang terencana dengan baik untuk kemakmuran pangan. Poros tersebut merupakan jalan sistem transportasi untuk pengangkutan hasil pertanian ke kota melalui Kotagede, juga dipergunakan untuk jalur perjalanan barang dari kota ke desa-desa.
Buk Dhuwur yang berada di rute jalur poros Ngipik-Pleret, merupakan simpang saluran irigasi untuk mengairi area persawahan ke selatan dan ke timur arah Condrowangsan. Dikarenakan area persawahan Balong dan Condrowangsan rendah, Buk Dhuwur nampak gagah berada di ketinggian.
Buk Dhuwur masih merupakan kawasan yang sepi di tengah bulak sawah yang panjang. Tahun 1967, pada area persawahan mulai ada yang membangun bangunan berupa warung remang-remang di tepi jalan, menemani kesendirian Buk Dhuwur. Dari titik inilah awal tempat berlangsungnya perubahan dari daerah pinggiran pedesaan mulai menggeser peranan pinggiran perkotaan.
Di tahun 1967-1973, warung remang remang Buk Dhuwur dikenal luas oleh masyarakat Kotagede penggemar “entertainment” kuno. Letaknya tersembunyi di pinggiran kota maupun desa. Terpelihara dari pandangan masyarakat luas. Tidak pernah muncul masalah sosial yang berarti. Terasa aman dan nyaman.
Namun, perubahan akan terus mencari bentuknya yang baru dan kekinian. Penduduk bertambah, masyarakat kelas pendatang baru hadir mencari tempat permukiman baru. Muncul pengembang mengubah bulak-bulak sawah panjang menjadi permukiman kelas menengah baru. Banyak kompleks permukiman penduduk muncul di area sekitar Buk Dhuwur.
Buk Dhuwur menggeliat, bedak, gincu, lipstik, deodorant, parfum, kaca mata, gaya busana bermunculan di etalase toko ber-AC, antidebu di sepanjang penggal jalan poros Ngipik-Pleret. Bulak sawah panjang yang membelah desa-desa, sudah tidak dirindukan lagi. Sebagian besar masyarakat merindukan kemajuan. Kemajuan mengubah tatanan masyarakat lama dan telah merangsang pembangunan di bidang sosial di pusat awal mula kehidupan tersebut ditumbuhkan. Warung remang-remang Buk Dhuwur telah lenyap tertiup sejarah perkembangan jaman.
Dari peta pencitraan satelit, Ngipik muncul nyolowadi. Permukiman Ngipik tampak dikelilingi jalan lingkungan, hadir sebagai suatu tempat yang penting. Kenapa penting? Karena area permukiman tersebut mampu memutus poros jalan utama Pleret-Ngipik-Wiyoro. Mestinya, area tersebut bagian dari terusan dan kelurusan poros jalan utama Pleret-Ngipik-Wiyoro. Seberapa penting sebuah poros harus terpotong di masa lalu oleh area permukiman, yang dikelilingi oleh sebuah jalan lingkungan untuk mengalirkan arus lalu lintas? Sayangnya, tidak ada observasi awal berupa literasi sebuah tulisan tentang hal itu untuk dilacak asal usulnya.
Beberapa masyarakat kuno Kotagede, sering melakukan laku mubeng benteng ring tiga. Ring satu, wilayah cepuri mengelilingi kraton. Ring dua, wilayah baluwarti mengelilingi kota. Ring tiga, wilayah penyangga tidak berupa benteng, tapi berupa penanda dalam ingatan.
Biasanya, masyarakat mengelilingi mulai dari perempatan Grojogan ke arah utara sampai perempatan SGM ke timur arah Gedongkuning melewati Gua Siluman, sebelum jembatan Kali Kuning belok ke selatan menuju Wiyoro-Ngipik menyusuri jalan Pleret, perempatan Rumah Sakit Citra Rajawali ke barat arah Banjardadap menuju Grojogan kembali.
Kehilangan narasi tentang Ngipik, kemungkinan disebabkan masyarakat kurang ngopeni cerita sejarah kehadiran sebuah permukiman. Sejarah masih dianggap atau diperlakukan sebagai sejarah raja-raja, sejarah timbul dan tenggelamnya para penguasa, sejarah naik dan turunnya dinasti-dinasti, atau sejarah bangun dan runtuhnya rezim-rezim politik.
Intinya, sejarah identik dengan sejarah politik. Bahkan sekarang pun ada yang mengatakan bahwa sejarah adalah politik di masa lampau dan politik adalah sejarah masa kini. Sejarah lahirnya sebuah permukiman desa atau kampung, masih merupakan fenomena yang belum popular.
Erwito Wibowo (Ketua BPKCB Kotagede, Yogykarta)