MEMAKNAI INOVASI DI ERA PANDEMI COVID-19

Menyangga Keberagaman, Keselarasan, dan Kelestarian

MEMAKNAI INOVASI DI ERA PANDEMI COVID-19

Oleh: Elcid Li dan Fima Inabuy

 

Dalam gerak sentralistik di negara kepulauan Republik Indonesia, upaya untuk keluar dari pandemi butuh kerja ekstra. Sebab berhadapan dengan kecepatan virus COVID-19 dalam berbagai variannya begitu banyak pintu masuk yang perlu dikontrol. Banyak pulau, banyak pintu, logistik jauh dari kata cukup. Kondisi landai yang ditandai dengan positivity rate yang rendah tidak akan bertahan lama seiring masih berlangsungnya mutasi virus. Vaksin pun tidak menjadi jaminan seratus persen.

 

Berhadapan dengan risiko yang ada di batas tak terhingga, kemampuan birokrasi dari berbagai institusi dalam negara berada di titik krisis. Artinya, berbuat yang terbaik sesuai prosedur pun tidak cukup, karena dalam ruang regulasi procedural, pengetahuan yang dibutuhkan untuk melampaui krisis pandemi ini belum ada. Kita butuh inovasi. Sebab regulasi posisinya selalu ada di belakang inovasi. Diktum yang cukup sederhana ini seharusnya untuk dimengerti. Sebelum diterapkan dalam skala massal, dalam model negara sentralistik, prototipelah model awalnya. Jika di fase prototype pun sudah dilarang, apa mungkin inovasi atau jalan terobosan bisa ditemukan?

 

Sayangnya, ruang inovasi di Indonesia tidak banyak yang terbuka. Bahkan ruang tradisional seperti universitas yang seharusnya menjadi lokomotif pengetahuan, kini malah tersandera dalam birokratisasi yang berlebihan. Ruang untuk melakukan inovasi amat terbatas. Di era pandemi, ruang itu semakin menyempit karena universitas juga memilih work from home dan tertidur. Padahal seharusnya, di ruang-ruang laboratorium itulah, para peneliti berada di garda terdepan untuk mencari solusi.

 

Tantangan inovasi krisis pandemi

Tantangan-tantangan terbesar untuk melahirkan inovasi saat ini adalah: pertama, dalam situasi krisis pandemi yang tidak berujung para birokrat menggunakan prosedur sebelum krisis. Dengan model berpengetahuan yang tertutup semacam ini, apa pun jalan keluar yang diambil tetap jalan di tempat. Sebab kemampuan untuk melihat realitas tidak dilatih, dan dianggap penting.

 

Kedua, di era pandemic, warga di kampung yang jauh dari Jakarta, dianggap tidak mempunyai kemampuan produksi pengetahuan. Kebiasaan sentralistik di berbagai institusi terpusat ini menghambat laju inovasi yang mungkin dilakukan dari berbagai titik kepulauan. Hambatan dasar mulai dari tata tertib anggaran, dan prosedur yang tidak ramah terhadap inovasi, apalagi jika itu diterjemahkan oleh birokrat 404 alias system error. Selain regulasi yang tertulis tidak mampu dinterpretasikan, berbagai jenis permainan khas pemain dadu cari uang kecil menjadi watak para elit dari tingkat pusat hingga kampung. Artinya berhadapan dengan pandemi COVID-19 itu satu hal, tetapi berhadapan dengan sistem predator akibat liberalisasi pasar tanpa ujung telah merapuhkan seluruh tatanan sistem kenegaraan. Sisa-sisa birokrasi korporatik peninggalan Orde Baru pun sudah hampir pudar. Elemen birokrasi sekarang semakin cair dan tidak solid. Pembinaan berjenjang semakin minim, dan pengkaderan sistematis tidak terjadi. Dengan model input yang amat terpengaruh selera pasar partai politik, kualitas birokrasi juga tidak bisa dibilang baik. Kondisi ini dialami di pemerintahan, maupun kampus.

 

Ketiga, logika pasar bebas muncul hingga level tertinggi negara tanpa mampu dikritisi secara memadai. Misalnya terkait HET (Harga Eceran Tertinggi) test PCR. Sebagai kepala negara, seharusnya Presiden Republik Indonesia tidak hanya berfungsi untuk menentukan harga pasar. Namun memastikan agar tes PCR mampu diperoleh seluas-luasnya oleh warga. Hal ini dimungkinkan jika ada inovasi, dan di level negara para elitnya tidak hanya dikungkung dalam skema distribusi. Selama negara diposisikan sekedar bagian dari jejaring distribusi semata, kemampuan negara hanya ada pada penentuan “HET”, dan bukan melakukan jalan terobosan seperti yang dilakukan oleh India maupun negara-negara lain di Afrika yang mampu memberikan tes PCR gratis di level 10 ribu rupiah. Saat ini, keputusan politik Presiden RI untuk menurunkan harga tes PCR ke angka 550 ribu rupiah juga turut diprotes terutama oleh jejaring distributor PCR dan bahan-bahan terkait.

 

Tanpa adanya inovasi di ruang produksi pengetahuan di saat pandemi, kemampuan Indonesia untuk pulih juga semakin melambat, dan kebijakan strategisnya pun keliru. Tidak mungkin vaksin menjadi satu-satunya alat. Perlu ada berbagai kombinasi intervensi, termasuk di dalam hal testing untuk mengantisipasi masuknya varian baru agar Indonesia tidak semakin terpuruk. Dalam skema negara, kepulauan daerah-daerah terpencil menjadi yang paling terdampak dan semakin tertinggal. Level equity terhadap akses kesehatan yang amat rendah yang dipertontonkan Jakarta terhadap daerah-daerah lain di Indonesia sudah sangat mencolok dan menyentuh rasa keadilan sosial.

 

Di sisi ini, lemahnya kemampuan testing di Republik Indonesia akan semakin memperlambat kemampuan pemulihan dan aktivitas warga. Perlambatan ekonomi yang terjadi secara beruntun akan berdampak fatal pada lapisan bawah masyarakat. Dari sisi ini inovasi di berbagai bidang menjadi mutlak dan seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Kepala negara seharusnya mengidentifikasi proyek riset strategis dalam menghadapi pandemi, baik yang dilakukan oleh pemerintah, kalangan universitas, lembaga riset, maupun dari elemen masyarakat sipil agar bisa didukung dan selanjutnya menjadi langkah terobosan di level negara.

 

Inovasi Laboratorium Kesehatan Masyarakat

Sejak Mei 2020, Forum Academia NTT di bawah pimpinan Dr. Fima Inabuy memperkenalkan konsep pool test untuk mengatasi kelangkaan test PCR. Dukungan yang didapat dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat kemudian memungkinkan hadirnya Laboratorium Biomolekuler Kesehatan Masyarakat Provinsi NTT di Bulan Oktober 2020.

 

Perbedaan mendasar Laboratorium Kesehatan Masyarakat (Public Health) adalah target pemeriksaannya bukan semata pada orang yang bergejala tetapi testing bisa dilakukan untuk seluruh warga yang dianggap berisiko, ini adalah laboratorium surveillance. Contohnya, testing dilakukan untuk satu sekolah yang hendak sekolah offline, ratusan komunitas keagamaan dan lainnya. Ini semua dilakukan secara gratis, sehingga angka positivity rate dapat terpantau dengan saksama. Tujuannya jika positivity rate rendah, seharusnya aktivitas bisa dilakukan dengan lebih leluasa. Namun jika angka tes saja minim, tidak mungkin ada patokan data yang memungkinkan kita memprediksi tingkat kematian (fatality rate).

 

Jika tes PCR berbiaya mahal, tidak mungkin surveillance bisa dilakukan, tidak ekonomis. Test untuk kepentingan surveillance hanya mungkin dilakukan jika bisa dilakukan secara massal dan murah. Upaya ini sudah kami lakukan untuk warga miskin, kaum difable, pekerja migran yang dipulangkan massal, anak sekolah, komunitas keagamaan, instansi pemerintahan, para pekerja media dan lain sebagainya. Dengan pemantauan yang tepat, aktivitas ekonomi bisa berjalan dengan risiko yang diperkecil. Tujuan dari testing bukan secara langsung mengeliminisasi risiko di level nol absolut, tetapi memperkecil risiko.

 

Persoalannya, dalam skema pandemi bisnis alat dan bahan kesehatan menjadi salah satu bisnis yang paling menguntungkan. Tidak heran Indonesia menjadi target pasar. Apalagi jika ruang mobilitas dikontrol dengan standar tes PCR yang masih mahal itu, meski harganya sudah diturunkan Presiden RI.

 

Setelah beroperasi selama satu tahun, Laboratorium Kesehatan Masyarakat Provinsi NTT yang sejak awal menempatkan diri sebagai laboratorium inovasi sudah memeriksa 15 ribuan sample swab dengan kemampuan penghematan biaya tujuh kali lipat dari harga saat ini. Kalkulasi biaya (cost analysis) yang sudah dikerjakan satu tahun ini seharusnya bisa menjadi bahan kajian bersama di level negara. Sehingga penghematan bisa dilakukan. Presentasi di level kajian ini perlu dibuka di kalangan para ahli agar Indonesia mampu mempunyai skenario terobosan keluar dari pandemi, dan strategi ini seharusnya tidak ditentang oleh pelaku pasar.

 

Keluar dari tawanan “harga pasar”

Para pelaku pasar utama yang muncul dan protes terhadap keputusan politik kepala negara sesungguhnya melupakan tanggung jawab kemanusiaan, khususnya ketika inovasi telah mampu dilakukan dan jika bisa divalidasi dan diperbanyak di berbagai wilayah Indonesia, sehingga tes PCR bisa terjangkau secara murah, bahkan gratis. Jika di level 10 ribu rupiah seharusnya negara mampu menggunakan uang pajak untuk membayar. Dengan cara ini rasa kepercayaan warga dan para pelaku ekonomi untuk pulih dan beraktivitas bisa kita dukung. Dengan cara ini kita harapkan pendapatan warga dan kemampuan warga membayar pajak dan retribusi bisa pulih sehingga kas negara tidak kosong.

 

Namun, jika langkah pemulihan ini dihambat yang untung hanyalah para pedagang alat kesehatan, sedangkan kesengsaraan ada di level warga kebanyakan. Momentum menghadapi pandemi COVID-19 seharusnya merupakan momentum Indonesia untuk mendukung riset inovasi di berbagai level. Momentum ini juga merupakan momentum Indonesia untuk mengkritisi model pengetahuan yang amat sentralistik, seolah warga di daerah tidak mampu melakukan produksi pengetahuan secara kontekstual.

 

Untuk itu, pengakuan yang telah didapat Labotarorium Kesehatan Masyarakat Provinsi NTT dari Litbangkes Kementrian Kesehatan seharusnya menjadi modal untuk terus bergerak dan bisa diangkat hasil inovasinya untuk dikaji dan dijadikan kebijakan publik. Saat ini hambatan utama yang dihadapi oleh para peneliti (scientist) di daerah adalah mereka “dikriminalkan” bukan hanya oleh para birokrat Dinas Kesehatan Kota Kupang, Dinas Kesehatan Provinsi NTT, juga oleh universitas negeri. Inovasi selalu mendahului regulasi, jika dibalik maka proses produksi pengetahuan terhenti.

 

Akibat mendasar dari terhentinya kemampuan melakukan produksi pengetahuan adalah kepala negara hanya mampu menjadi penentu harga, tetapi bukan sebagai motor untuk melakukan inovasi. Sebab negara dikunci sekedar sebagai konsumen alat kesehatan semata, dan sumber-sumber yang ada tidak diberdayakan sebagai sumber produksi pengetahuan dalam menghadapi pandemi yang tidak berujung. Syarat untuk keluar dari pandemi adalah dengan semangat republiken, seorang kepala negara harus mampu keluar dari tawanan harga pasar, dan mampu melakukan produksi teknologi untuk berhadapan dengan krisis mondial yang sudah diprediksi oleh para ilmuwan yang tergabung dalam Club of Rome sejak tahun 1970-an. Bumi yang dihisap tanpa akal budi pada akhirnya tidak akan mendukung daya hidup manusia. Ini yang sedang terjadi, dan Indonesia tetap ada dalam selubung asap para pedagang yang anti pengetahuan, dan antinegara.

 

 

**Kedua penulis bekerja di Laboratorium Biomolekuler Kesehatan Masyarakat Provinsi NTT, laboratorium yang didirikan oleh warga dan memberikan test PCR gratis kepada warga sejak Oktober 2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *