PENDEMI: TANTANGAN MANAJEMEN SENI PERTUNJUKAN
Oleh Kusen Alipah Hadi
Isteri saya mulai sering ngomel sebab bosan, terkurung di rumah dan sekitar. Ia tidak bisa lagi jalan-jalan, menikmati pertunjukan secara langsung sebab pendemi Covid-19 belum usai. Akhirnya, kami bertiga (saya, istri, dan anak) sering hanya menghabiskan waktu di depan laptop dan “terpaksa” menikamati sajian pertunjukan online.
Pendemi Covid-19
Seniman seni pertunjukan termasuk golongan yang mencintai kerumunan. Sukses tidaknya sebuah konser musik, umpamanya, dengan mudah ditentukan dari seberapa banyak penonton yang hadir memadati tempat konser. Di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, misalnya, tiap kali diselenggarakan acara pesta seni Nyiar Lumar, tak kurang dari puluhan kelompok seni dan ratusan seniman dari berbagai daerah di Indonesia terlibat, baik sebagai pengisi acara maupun panitia . Pesta seni dua tahunan ini dihelat selama sehari semalam sejak 1998. Menurut perencanaan, acara tersebut digelar pada Oktober 2020, namun batal karena pendemi Covid-19. Dalam catatan Koalisi Seni hingga 21 April 2020, tak kurang dari 234 acara seni di Indonesia batal atau ditunda karena Covid-19 .
Di belahan dunia lain demikian juga adanya. Banyak acara dibatalkan, bahkan beberapa hari sebelum perhelatan karena masih berharap pendemi Covid-19 mereda. Pemerintah Kota Venesia telah memutuskan untuk membatalkan pada dua hari terakhir Carnevale di Venezia atau yang dikenal dengan Karnaval Venesia. Anime Japan, acara yang ditunggu-tunggu para fans anime dibatalkan. Tiket yang sudah terlanjur terjual pun kabarnya sedang dalam proses pengembalian. Hong Kong Art Festival pada 13 Februari juga resmi dibatalkan. Rencananya, festival seni tersebut akan menampilkan 120 pertunjukan yang terdiri dari acara musik, teater, dan opera, ditonton oleh sekitar 90 ribu orang .
Saat ini, sebagai upaya penyelamatan dari pendemi Covid-19, segala kerumunan dihindari dan dilarang. Sebagai akibatnya banyak seniman, dalam hal ini, seniman seni pertunjukan “menemui jalan buntu”. Seturut dunia pendidikan yang mengalami “pen-daring-an”, demikian pula seni pertunjukan. Ia terpaksa “di-kotak-kan”, dimasukkan dan ditonton dalam “kotak”. Konsekwensinya, penonton seperti tidak mendapatkan kesan sebagaimana seni pertunjukan dalam bentuk live. Penonton dengan cepat akan meninggalkan pertunjukan daring dan beralih menikmati aplikasi Tik-tok, film yang disedikan proveder tertentu, atau Whatshap-an dengan teman-teman selingkaran. Kemudian, bagaimanakah respon dunia pertunjukan? Dalam hal ini, termasuk di dalamnya, manajemen seni pertunjukan?
Intimacy dalam Beastly
Beastly merupakan proyek Deaf Art Community (DAC) dan Tutti Art, dimana seniman difable dan nondifable bekerja bersama pada tanggal 26-28 Januari 2018 dan 2-4 Febuari 2018 di Sanggar DAC. Mereka menggelar 3 pertunjukan dengan durasi sangat pendek: 3 menitan. Para penonton dibatasi hanya 1 orang atau sepasang. Bowerbird, salah satu pertunjukannya, menggunakan ruang pertunjukan berupa sarang, mirip rumah orang-orang suku Asmat di Papua, atau rumah-rumah Teletabis di Klaten. Namun ukurannya kecil, hanya muat untuk tiga orang. Paling nyaman, tentu digunakan untuk satu atau dua orang saja. Terbuat dari kerangka bambu dan ditutupi jerami kering. Pada dinding luar, di beberapa bagian, ditaburi dedaunan kering, dan potongan kain warna-warni. Meskipun dinding ini tipis, kita tidak bisa mengintip aktivitas di dalamnya. Pertama, karena memang dijaga petugas (keluarga Si Aktor). Kedua, karena susunan jerami begitu rapi sehingga tidak menyisakan ruang untuk mengintip dan diintip. Pada bagian dalam, sarang tempat Si Aktor beracting tepat berada di muka pintu (dari kain) dan agak tinggi (tidak di lantai). Sarang dan pintu hanya menyisakan satu ruangan untuk kursi pentonton. Sehingga ketika kita duduk (menonton), Si Aktor tepat berada di depan kita (Si Aktor duduk bersila).
Saya masuk berdua, bersama teman difable (lumpuh dan downsindrom). Kami berdua duduk di satu kursi agak panjang (dingklik). Sementara Si Aktor sudah duduk sebagai burung, lengkap dengan topeng lucunya. Di dinding-dinding di atas kepala terdapat lampu kecil warna-warni. Tubuh Si Aktor gemuk, kepala lebih besar dari anak-anak seusianya, matanya memandang fokus, tapi selalu tidak tertebak arahnya. Keseluruhan tubuhnya telanjang, hanya memakai popok. Berbalut warna putih, seperti bayi memakai bedak.
Pertunjukan 3 menit ini memberi secuil pengalaman, tinggal bersama burung yang jenaka. Dimulai dengan lagu riang. Mata dan senyum nakal Si Burung menggoda kita dengan meminta mengambil benda-benda di depan kita, untuk kemudian menyerahkan kepadanya. Dia akan menerima dan mencoba-coba fungsi serta kegunaan untuk dirinya. Mulai dari boneka kecil, gelas, kipas, dan sesuatu yang menunjukkan kenakalannya, yaitu BH warna pink. Dan akhirnya, Si Burung mengerutkan muka, menunjukkan muka serius karena mendorong sesuatu, dan ternyata keluar telur dari duburnya.
Kemudian Si Burung mengambil telur, memecah, dan mengambil isinya: secarik kertas. Si Burung memberikan secarik kertas pada saya dan seorang penonton lainhya. Kami menerimanya. Kami membacanya bergantian. Kami saling berpandangan. Sementara Si Burung tertawa terbahak-bahak. Dalam secarik kertas tertulis “telur atau burung dulu”? Pertunjukan selesai. Saya keluar. Teman saya yang difable juga keluar, tanpa meminta bantuan saya atau lainnya.
Saya sungguh terkesan dengan ruang pertunjukan yang kecil, pertunjukan yang dekat, dan interaktif. Saya mendapat semesta “di belakang” Si Aktor dan seorang teman nonton yang difable. Jika saya alpa menggambarkan tentang detak jantung dan air mata yang membasahi pipi, semata-mata, karena saya ingin menyimpan intimacy untuk diri sendiri.
Dalam “dunia berjarak” seperti saat ini, pertunjukan dan manajemen seni pertunjukan yang memandang kerumunan adalah “segalanya”, “pencapaian paling prestisius”, harus melakukan kritik diri. Alexandra Pirici, seorang artis dari Rumania mengatakan bahwa, sesungguhnya, krisis dalam dunia pertunjukan sudah terjadi jauh sebelum Pendemi Covid-19, “When we start thinking about performance as an ‘event,’ as something spectacular, the problem appears”. Dewasa ini, seni pertunjukan sering dibuat hanya “for the attention economy, to attract large crowds and encourage Instagram posts ,” katanya.
Seni pertunjukan seperti kehilangan intimacy, hubungan antara seni pertunjukan dan penikmatnya. Intimacy dalam dunia pertunjukan tidak bisa dibangun dengan gemerlap lampu, kemewahan gedung pertunjukan, namun oleh kedekatan tema dan teknik pertunjukan yang “dibangun”. Intimacy tidak harus mencakup kedekatan fisik, namun bisa merupakan kedekatan emosional. Salah satu vokalis Coldplay, Chris Martin, membuat konser online melalui Instagram misalnya. Selain berinteraksi langsung dengan para fansnya, ia juga membawakan beberapa lagu lagu hits milik Coldplay. Ia juga mengajak penggemarnya ikut nyanyi bareng.
Ada juga John Legend. Tidak sendirian, ia mengajak sang istri untuk mengisi “panggung virtual” . Dengan menggunakan pakaian casual formal, John Legend tampak membiarkan jarinya menari di atas pianonya. Dengan kecenderungan demikian, lalu bagaimana dengan kepentingan pragmatis mendapatkan keuntungan? Sebagaimana dalam pertunjukan Beastly, “telur atau burung dulu”? Mari sama-sama kita pikirkan.
Tantangan Manajemen Seni Pertunjukan
Gairah membawa gerbong seni pertunjukan dalam format digital hanya ramai di awal, namun terasa jemu kemudian. Pertunjukan daring di masa pandemi Covid-19 memang menjadi marak, dan memang itu alternatif paling memungkinkan, tetapi alih-alih menciptakan satu genre baru gaya pemanggungan, yang terjadi justru terjebak pada urusan-urusan di luar kesenian . Menonton pertunjukan virtual seringkali tidak berhubungan dengan kualitas karya yang disajikan, namun semata karena empati (bahkan mungkin kasihan), karena ruang-ruang pentas seniman senyatanya telah terenggut karena pandemi Covid-19. Menyaksikan pertunjukan daring lebih sebagai upaya memberi semangat pada seniman agar terus bertahan dibanding penikmatan sepenuhnya pada karya yang disajikan. Oleh karena itu, kita jarang menjumpai komentar seputar kekaryaan yang analitis, dalam, atau bahkan kritis.
Sebuah ruang pertemuan dan pertukaran gagasan antara penggagas netlabel di seluruh Indonesia yang bergerak sejak 2012, yaitu Indonesia Netaudio Forum (INF) mencoba menjawab tantangan pendemi . Tahun ini, ketika pandemi Covid-19 terjadi, INF menyelenggarakan festivalnya melalui platform virtual. Tidak seperti konser musik virtual lainnya yang biasanya hanya memindahkan citra pertunjukan live di tempat lain dengan cara streaming semata atau daring. Dalam acara yang bertajuk In-Game Club, INF membangun ruang di dalam sebuah platform game bernama SWGBBO. Di sana para pengunjungnya dapat masuk, membentuk citra dirinya sesuai dengan apa yang mereka inginkan, dan hadir dalam ruang virtual dalam wujud avatar. Ruang virtual yang ada di dalam festival musik tersebut dibagi menjadi tiga: INF Garden, INF Diskotek, dan Perky Chamber. Semuanya memiliki tata ruang yang menarik dan pengisi acara yang siap tampil selayaknya konser fisik. Tidak hanya pengunjung yang menampilkan dirinya dalam bentuk avatar, para pengisi acara pun demikian.
Sebagai festival musik, In-Game Club menampilkan pengisi acara dengan presentasi musik yang beragam. Mulai dangdut remix organ tunggal yang dihadirkan Ranger Mirwan (Lampung), deretan DJ seperti Purbasari (Jogjakarta), Asep Nayak (Wamena), Iramamama (Jakarta), Gabber Modus Operandi (Denpasar), serta kelompok musik seperti Rabu (Jogjakarta) dan Sundancer (Mataram), dan masih banyak lainnya. Semua penampil ini dihadirkan dalam satu hari pada 10 September 2020 sejak pukul 18.00 hingga pukul 03.00.
Selain program penampilan musik, INF In-Game Club menghadirkan program bazar solidaritas. Di ruang yang sama, para pengunjung dan penggiat dapat menggunakan platform untuk menawarkan inisiasi solidaritas, iklan layanan jasa, produk kuliner, dan rilis musiknya. Interaksi antara penampil, pengunjung, dan teknologi telah mengahadirkan intimacy. Hal ini semakin membuat ruang virtual yang dihadirkan INF menjadi riuh dan mendekati imajinasi tentang festival musik yang utuh.
(Kusen Alipah Hadi adalah seorang Antropolog, Direktur Yayasan Umar Kayam, Ketua Koalisi Seni Indonesia)
————————
. https://news.detik.com/kolom/d-5329042/pandemi-dan-nasib-seni-kerumunan
. https://koalisiseni.or.id/acara-seni-yang-batal-dan-ditunda-akibat-pandemi
. https://kumparan.com/kumparantravel/9-event-internasional-yang-dibatalkan-akibat-mewabahnya-virus-corona-1swjZwPCKeb
. https://news.artnet.com/art-world/swan-song-for-performance-art-1922288
. https://www.authenticity.id/read/konser-online-di-rumah-bikin-musisi-dan-fans-intim
. https://news.detik.com/kolom/d-5043905/menata-ulang-pemanggungan-seni
. https://www.jawapos.com/minggu/halte/11/10/2020/pertunjukan-musik-virtual-indonesia-netaudio-forum