Titik Balik: Sosok Arsitek Memilih Tinggal di Desa
Nama Eko Agus Prawoto, sudah tidak asing. Seorang arsitek, akademisi dan seniman yang konsisten mengembangkan karya dengan material alami. Salah satunya bambu. Dua dekade terakhir, bambu ‘mendunia’ dengan sentuhan estetik tangan dingin Eko Prawoto. Desain seni instalasi bambu menghiasi danau di Brussel hingga di Arnhem, Belanda. Membentuk sebuah pertemuan (encounter) dua entitas budaya. Eko Prawoto, barangkali mau menunjukkan bahwa desain bambu tidak kalah dengan selera dan rasa desain negara maju di negeri Barat. Sebuah penegasan, karya berbahan bambu lokal sama derajatnya dengan karya lainnya.
Bukan kebetulan, rasanya sebagai arsitek Eko Prawoto mendapatkan kenyataan ada ruang kehidupan yang dilupakan dalam riuh modernisasi yaitu kehidupan desa dan alam sekitar dengan segala kearifan lokalnya. Eko Prawoto terusik, selama ini arsitek lebih mengabdi pada kepentingan industri. Padahal alam semestinya mendapatkan sentuhan arsitek agar hidup tetap bertumpu pada alam, estetik dan selaras dengan lingkungan.
Kegelisahan Eko Prawoto tentang peran arsitektur terungkap dalam pernyataannya,“Arsitektur merupakan intervensi sementara dibandingkan alam yang harus dimenangkan. Arsitektur secukupnya saja”. Sebuah kesadaran reflektif perlunya keberpihakan untuk memberikan sentuhan arsitektur pada alam bukan hanya menonjolkan rekayasa arsitektur yang mengabdi pada tuntutan modernisasi komunitas urban yang berwajah penaklukan ruang.
Sudah 6 tahun terakhir, memasuki tahun ke- 7, Eko Agus Prawoto, memilih tinggal di desa. Baginya ini merupakan sebuah keputusan yang besar. Menurut Eko Prawoto, selama ini arsitektur lebih melayani kebutuhan urban, padahal desa juga membutuhkan arsitektur. Sebuah titik balik. Eko Prawoto mentransformasikan kegelisahan dalam sikap batin dan tindakan nyata untuk menjadi bagian dari desa yang masih membutuhkan sentuhan sains dan estetika.
Bersama dengan lembaga Sejarah Kajian Teknik dan Desain, Fakultas Arsitektur dan Desain, Universitas Kristen Duta Wacana, Eko Prawoto, melakukan kajian sejarah dan teknologi agraris pedesaan dan menggagas ‘Museum of the ordinary things’. Museum ini mencoba mengumpulkan pernik-pernik pengetahuan budaya agraris yang nyaris dilupakan. Menampilkan orang biasa dari desa berbagi kisah dan narasi ‘pengetahuan lokal’ kepada generasi muda dan publik yang lebih luas. Diangkat dalam sebuah ruang ‘gallery pameran’ di Cemeti Art House, Yogyakarta, bertemu dan bersinergi dengan rupa-rupa dunia keseharian di luar kebiasaan. Sebuah kolaborasi ‘narasi’ yang memanusiakan dan trigger bagi kemajuan pengetahuan lokal.
Eko Prawoto mengamati dengan jeli pengetahuan dan teknologi agraris di desa tentang pembuatan alat-alat pertanian seperti sabit (arit), cangkul (pacul), bajak,(bajak), garu ( menghaluskan tanah bajakan), kampak (pethel) dari karya pandai besi (empu) yang masih tersisa di desa. Semangatnya, menemukan mutiara-mutiara yang tercecer dari warisan leluhur. Yang bila diabaikan, akan segera hilang ditelan oleh zaman.
Di desa tempat tinggalnya, di Kedondong, Dekso, Kalibawang , Kulon Progo Eko Prawoto dengan mata etnografis dan rasa estetis arsitektur menelusuri dan mengabadikan teknologi agraris. Mulai dari proses pembuatan alat pertanian pada masyarakat desa yang masih bertahan, penjualnnya di pasar tradisional dan interaksinya dengan pemakai yang membentuk sebuah interaksi khas dalam proses produksi dan kreativitas mereka.
Para pejuang teknologi agraris yang bertahan dengan peralatan sederhana, pandai besi yang menjadi ‘partner’nya menyelami, merekam proses kreasi teknologi agraris berbagai jenis peralatan pertanian mendapatkan pengetahuan melalui hubungan personal dan pewarisan turun-temurun. Seperti dikisahkan Eko Prawoto tentang sosok Pak Ahmad, yang mendapatkan ilmu dari pendahulunya Pak Bonimin, Pak Pur yang mendapatkan keahilan dari Pak Mul. Satu per satu mereka telah menjemput keabadian karena faktor usia. Beruntung masih ada Kismanto yang meneruskan usaha orang tuanya. Tranfer ketrampilan terjadi secara unik. Orang yang memiliki kemampuan membuat peralatan pertanian semakin langka dan sedikit. Dan bisa hilang dengan cepat jika tidak didokumentasikan pengetahuan tersebut.
Dalam proses pertemuannya dengan para empu lokal tersebut, Eko Prawoto mendapatkankan banyak pembelajaran. Pengalamannya mengumpulkan pengetahuan tentang teknologi agraris yang nyaris dilupakan tersebut, ada banyak hal yang bisa dipetik. Teknologi desa sesunguhnya membukakan pengetahuan tentang budaya kemandirian, kemampuan membuat alat, ergonomi, kekuasaan, tentang rasa, tentang teknologi, tentang keberagaman jenis alat sesuai daerah asal dan fungsinya. Hal ini sangat mencerahkan.
Misalkan jenis pethel, bentuk pethel Yogyakarta berbeda dengan pethel dari Muntilan. Setiap daerah memiliki keunikannya sendiri. Demikian halnya sabit, ada beragam jenis sabit dibuat berdasarkan fungsinya. Ada sabit untuk membelah, ada sabit untuk memotong, ada sabit untuk membuat lubang, ada jenis sabit untuk irat-irat (membuat bilah tipis dari bambu untuk kerajinan). Terdapat varian ragam yang luar biasa sesuai dengan daerahnya.
Satu hal yang penting sebagai ciri-ciri desa adalah kemandirian membuat alat sendiri sesuai dengan kebutuhan. Seperti sabit ada beragam jenis yang dibuat sesuai dengan kebutuhan. Dalam perkembangan, sabit dibuat untuk kepraktisan juga, sehingga satu jenis sabit bisa digunakan untuk fungsi yang beragam. Sangat berbeda dengan kota yang semuanya disediakan oleh eksternal.
Jika ditesisik dalam sejarah, Eko Prawoto menemukan relief di Candi Sukuh yang menggambarkan alat pertanian yang relatif hampir sama bentuk dan fungsinya dengan yang sekarang masih digunakan oleh para petani. Sejarah pengetahuan lokal kita sudah berkembang lama, seperti ditemukan dalam jejak relief di Candi Sukuh tersebut.
Akan tetapi, Eko Prawoto mendapati bahwa pengetahuan lokal ini belum terdokumentasi. Kemudian juga menarik untuk menggali bagaimana pengetahuan lokal menjadi pengetahuan baru. Pengetahuan lokal itu ada, akan tetapi bisa hilang ketika kita abai dan tidak menangkapnya. Pertanyaannya seberapa besar yang masih memiliki kepedulian untuk merawat pengetahuan tersebut?
Yang menarik adalah mencermati rantai pasar sebagai proses interaktif antara pengguna dengan pembuat. Desain lahir dari umpan balik penggunanya. Relasi antara penjual, pemakai dan desainer erat. Penjual menjadi ‘mediator’ yang menyampaikan keinginan para pemakai kepada desainer, sang empu. Ada sesuatu yang hidup, sebuah interaksi antara pembuat, penjual dan pemakai yang saling melengkapi. Sebuah desain terbentuk berdasarkan masukan dari kebutuhan, bukan semata hasil disain pembuatnya seorang. Simpul kreatif dari interaksi sosial turut memengaruhi variasi ragam produksi teknologi masyarakat pedesaan.
Eko Prawoto juga mendapatkan pembelajaran berbagai pengetahuan baru dalam proses teknologi pembuatan alat pertanian. Misal, arang sebagai bahan baku membuat api untuk membentuk peralatan dari besi. Ada beberapa jenis arang yang bagus, yakni arang dari bahan kayu jati, dan bambu ampel. Konon bahkan arang terbaik itu dibuat dari pohon kamboja. Demikian juga fungsi arit dan desain berkembang dari fungsinya. Untuk masyarakat di hutan, bentuk arit akan berbeda, lebih lurus dan pajang. Sebaliknya, arit lengkung dengan beragam fungsi berkembang di daerah pertanian.
Kontekstualisasi dengan perkembangan generasi sekarang dapat dilakukan melalui kolaborasi dengan para arsitek. Ini dapat membuka simpul kreatif. Jika dulu bentuk peralatan teknologi agraris berkembangan berdasarkan fungsi dan kebutuhan, sekarang dapat dieksplorasi untuk produksi asesories yang menyasar pada estetika dengan pangsa para kolektor seni. Eko Prawoto juga menemukan jenis teknologi agraris yang dibuat dengan detail estetik untuk kepentingan koleksi kelas tertentu. Ada proses stilisasi produk yang menghasilkan berbagai detail desain seni dengan mengeksplorasi bentuk-bentuk imitasi dari alam sekitar. Jadi karya para empu sesungguhnya juga dapat dikembangkan untuk membentuk adaptasi produk sesuai dengan perkembangan zaman.
Indonesia banyak membutuhkan sosok yang mempunyai kepedulian terhadap warisan kekayaan pengetahuan untuk didokumentasikan, dirawat, dan dikembangkan sebagai pengetahuan baru dengan sentuhan-sentuhan ‘sains dan estetika’ sehingga menghasilkan desain sesuai dengan dinamika perkembangan. Sosok Eko Prawoto, seorang Arsitek, akademisi dan seniman yang mendapatkan banyak penghargaan atas karya-karya otentiknya menginspirasi kesadaran pentingnya untuk ‘berpihak’ pada akar kehidupan agraris yang menjadi kekhasan dari negeri ini, sehingga berangkat dari kekayaan pedesaan, kita dapat belajar kembali tentang semangat kemandirian, rasa, selera dan martabat sebagai manusia dari hal-hal biasa (The ordinary things). (HR)