Bau Sampah, Peduli Sampah
Yang lagi hangat jadi perbincagan orang-orang di sebuah desa saat ini ialah bau busuk sampah. Tepatnya bau busuk hasil pengolahan sampah. Menurut cerita, sampah-sampah organik digiling oleh mesin di bank sampah desa tersebut lalu hasil sampah yang sudah berupa gilingan sampah itu diangkut dan diangin-anginkan dan dijemur di area embung desa sebelum diproses menjadi pupuk organik (kompos), di lahan yang lumayan lapang. Sudah cukup berjarak dari area permukiman sesengguhnya, tetapi rupanya masih mampu menguarkan bau tak sedap di seantero dusun. Lebih-lebih kalau hari mulai petang, jelang malam. Bau sampah gilingan itu makin kentara.
“Nggak enak banget!”, celetuk remaja SMU, anak perempuan Pak Nardi, penjual bakmi Jawa langgananku di dusun itu.
“Gimana ya, ada pembeli yang ngiras sini sempat protes, kok bauk gitu”, tambah Bu Nardi, “Tapi ya gimana, kita ndak bisa gimana-gimana”.
“Maksudnya? Maksudnya ga bisa gimana-gimana tu gimana?”, tanyaku.
“Lha sudah kita sampaikan kepada yang ngurusi sampah, terus dijawab ‘matur nuwun’ gitu. Tapi ya tetap bau sampah”, timpal Pak Nardi.
Alhasil, sebagian masyarakat di desa itu kebauan sampah, terutama yang tidak jauh dari tempat penjemuran sampah giling. Ada yang samar-samar, ada yang cukup menyengat juga. Kadang “makseng” terbawa angin lalu. Aku, karena lagi flu, tidak merasakan bau yang spesial itu. Entas saying, entah beruntung!
Penjual bakmi Jawa tetap buka warung jualannya jelang petang sampai malam hari. Masih kebauan, tapi tidak bisa apa-apa. Hanya bisa ‘nerima ing pandum’. Dan berharap para pelanggannya bisa maklum. Menyantap bakmi godok, bakmi goreng, cap cai godok, cap cai goreng, magelangan, nasi godok, serta wedang teh, jeruk, kopi, sambil mendapat bonus, kadang banyak kadang sedikit, aroma yag beda aja.
Besuknya, aku datang lagi ke warung Pak Nardi. Masih belum kebauan sampah. Entah karena hidungku masih tumpul penciumannya atau memang sedang tidak ada aroma spesial yang menguar di udara.
“Lha ini nggak bauk, Bu”, kataku ke Bu Nardi,
“Iya, ini sedang aman. Mungkin lagi ndak njemur gilingan sampah,” ujarnya.
“Tapi kemaren ada yang demo lho, Mbak”, sambungnya. Ada lahan di dusun sebelah yang mau dibuat area pengolahan sampah juga. Tapi warga menolak terus rame-rame demo ke kelurahan”.
“Terus?”, tanyaku penasaran.
“Wah, entah, saya belum tahu beritanya lagi,” jelasnya.
Lalu, obrolan tentang sampah terhenti saat datang seorang pemuda ke warung dan pesan bakmi godok untuk dimakan di tempat. Pak Nardi dan Bu Nardi langsung mencoba mengalihkan pembicaraan. Gelagatnya mengisyaratkan itu. Barangkali pemuda itu termasuk pengurus bank sampah atau orang penting yang tidak boleh mendengar rerasan warga soal bau sampah.
Aku tanggap. Lantas diam, menikmati bakmi Jawa godok di mangkokku.
Sepulang dari warung bakmi, sekeluar jalan desa menuju ke ringroad selatan ke arah timur, kulihat kantong-kantong dan karung-karung plastik, kebanyakan menggembung, teronggok di sisi jalan atau di pembatas jalan di tengah. Sebagian iaisnya berceceran: sampah aneka rupa, termasuk sampah plastik. Ya, sampah. Masalah besar yang sedang melanda kotaku. Dan sesungguhnya, mengolah sampah, aksi pengolahan sampah, menjadi sebuah solusi yang sangat membantu mengatasi surplus sampah. Bagaimana dengan bau sampah basah? Bagaimana dengan warga yang kurang terima karena kebauan sampah? Bagaimana dengan demo menolak lahan dusunnya untuk tempat pengolahan sampah?
Bagaimana sosialisasi dari yang berwenang untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya pengolahan sampah?
Nastiti
Warga Yogya penggemar bakmi Jawa