Fenomena Kandang Kambing di atas Parit
Kampung saya, selain terkenal sebagai kampung kumuh, juga terkenal sebagai kampung kandang kambing, sehingga problematika kebersihan dan kesehatan menjadi masalah yang berkepanjangan. Hampir semua balita di kampung saya menderita flek. Termasuk anak-anak saya ketika masih balita. Pemandangan kandang kambing di depan rumah, menurut pengamatan saya, dimiliki oleh hampir sepertiga warga kampung. Mereka beternak kambing sebagai bisnis sampingan, selain sehari-hari bekerja sebagai petani dan buruh tukang. Berkali-kali, imbauan dari Pemerintah Desa melalui pak Dukuh dan ketua RT menjadi angin lalu saja. Bahkan akhir-akhir ini, banyak warga kampung yang tidak memiliki halaman depan untuk beternak nekat membuat kandang kambing di atas parit sepanjang jalan lingkar di kampung saya.
Perilaku kurang atau tidak mendukung program dari Pemerintah Desa tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) tercermin pada perilaku warga di kampung saya, tempat saya saat ini berdomisili. Bahkan pernah suatu ketika, ada tamu saya yang sampai mencium bau tidak sedap yang berasal dari kandang kambing milik tetangga saya. Sebagai tuan rumah yang sedang dikunjungi tamu, saya merasa tidak nyaman dan serba salah ketika tercium bau kencing dan kotoran kambing. Walaupun yang kencing dan berak si kambing. Tapi, kambing itu binatang, bukan? Jadi, yang kebangetan itu siapa, ya? Kambingkah atau tetangga saya?
Yang lebih ekstrem lagi jawaban para tetangga saya yang memelihara kambing di depan rumah mereka ketika ditanya alasan mengapa beternak kambing di depan rumah, dan mengapa tidak bersama-sama membuat kandang secara kelompok. Jawaban mereka: “Wong kandang kambing milik pribadi didirikan di tanah milik pribadi, kok, orang lain pada keberatan. Yang penting, kan, tidak merugikan orang lain”. Gerutu saya dalam hati: “Kok bisa-bisanya bilang tidak merugikan, kepala lo peyang?! Terus bau inthil-nya apa tidak menyebabkan polusi udara?”
Soal ternak kambing bagaimanapun juga merupakan bisnis sampingan para tetangga saya. Ada faktor bisnisnya. Setiap bulan Haji (bulan Dzulhijah), para peternak kambing panen duit. Boro-boro kecipratan rejeki dari penjualan kambing sebagai kompensasi polusi udara dari kandang kambingnya, ucapan permintaan maaf saja tidak pernah terlontar dari bibir-bibir mereka yang beternak kambing.
Itulah fenomena yang terjadi di kampung saya. Dan maraknya kandang kambing di atas parit itu semakin menguatkan sebutan kampung saya sebagai kampung kumuh. Sekarang lengkap sudah julukan dari netizen untuk kampung saya: kampung terpencil, kampung tertinggal dalam hal pembangunan, dan kampung terbelakang dalam pendidikan.
Junaedi Imfat