SELAMAT JALAN, KAWAN!

Menyangga Keberagaman, Keselarasan, dan Kelestarian

SELAMAT JALAN, KAWAN!


Gunawan Maryanto, Kusen Alipah Hadi,
teman-teman Sanggar Anom, dan Bapak Guru Genthong HSA

(In memoriam Gunawan “Cindhil” Maryanto; aktor, penulis, dan sutradara teater)

Pukul 23.59 WIB, aku masih tidak bisa tidur setelah dapat mengakses HP. Barangkali karena perasaan kehilangan, barangkali mengaca diri melihat kondisi kesehatan diri, atau barangkali juga sedang menakar cara hidup teman-teman sekerja yang “kurang sehat” selama berproses kesenian, entahlah. Maka kuputuskan untuk menulis sekenanya sebagai terapi.

Cindhil a.k.a Gunawan Maryanto bukan orang asing. Dia teman, sahabat, barangkali. Itu bisa diukur ketika bertemu. Selalu saja yang terlontar “hinaan” atawa “ejekan”, sama sekali tak pernah melontarkan pujian. Aku masih ingat detail peristiwanya ketika 7 atau 10 tahun lalu, tetiba ditawari makan siang di jeda acara UNDP di Jakarta. Sebagai gerombolan pemburu makan gratis, tentu langsung OK dan fokus pada menu makanan, tanpa memerhatikan sekitar.

Ketika asyik melakukan verifikasi menu, tetiba ada suara yang tak asing. Fix! Cindhil menjadi pengisi acara jeda makan. Aku langsung ambil posisi di baris depan, menyaksikan aktor “kelas nasional” beraksi. Pertunjukan komedi dengan sisipan pesan-pesan pemberdayaan dan studi kasus. Pasti lumayanlah (honornya).

Selesai pertunjukan, aku sengaja ngeloyor melewati ruang make-up. Tepat di depan pintu yang setengah tertutup, sambil terkekeh, berucap “Saya mau juga diajak ngejob beginian lho, honor setengah juga gak papa. Mayan.”

“Prex…!” jawab Chindil dari dalam.

Di lain kesempatan, saya dan Joned (Suryatmoko – red.) selalu bilang, “Estetikamu kuwi lho, Ndhil”, sambil menunjuk ke arah pergelangan kakinya yang tak pernah sembuh total dari kudis.

Aku mengenal Chindil sewaktu SMA, semasa tergabung di Sanggar Anom, tempat kami belajar seni pertunjukan. Chindil, aku, Hanung (Bramantyo – red.), dan teman-teman lain adalah remaja-remaja yang sedang melakukan pemberontakan pada keluarga, memilih keluar dari rumah, dan tinggal di Sanggar. Dan beberapa kali aku memergoki guru kami (Genthong HAS) geleng-geleng kepala, menghela nafas, memberi selimut ketika menyaksikan anak-anak didiknya tidur pulas di atas beberapa level yang menjadi tempat tidur kami. Guru kami itu seperti orangtua kami. Bukan saja mengajar seni pertunjukan, namun juga cara bersikap pada hidup. Sedangkan kami murid-muridnya, menjelma menjadi keluarga besar.

Cindhil adalah satu dari beberapa yang memiliki cerita unik ketika tidur. Dia selalu tidur tanpa celana dalam. Setiap kali sampai sanggar, celana dalam akan dilepas, diletakkan pada “centhelan”, dan dipakai lagi ketika pergi. Jadi, “seniman nasional itu” ,sesungguhnya, tak bisa membedakan jaket dan celana dalam. Lebih sebel lagi, Chindhil tidur dengan sarung. Jadi ketika pola tidurnya tak teratur, “itu”-nya melakukan “pertunjukan dengan bebas”. Sebagai ganjaran, kami selalu melepas sarung atau membuka sarungnya ketika dia bangun belakangan. Maka, jadilah “itu”-nya sebagai hadiah pembuka para tetamu yang datang ke sanggar (catatan: sanggar kami terbuka, ya. Tetamu bisa nyelonong seenaknya).

Chindil tidak seperti kami ketika datang ke Sanggar Anom. Sakunya sudah terisi. Chindil adalah pemain teater asuhan Rudy Curennce semasa kanak-kanak. Ia juga masih aktif menjalin relasi dengan alumni teater NAMCE (SMA tukang kelahi di Jogja). Maka, tidak mengherankan jika Chindil adalah gelombang pertama yang memutuskan keluar dari Sanggar Anom, menemukan jalan hidup keseniannya sendiri. Chindil mulai aktif di Teater Garasi (Fisipol), meskipun ia adalah mahasiswa Sastra Jawa. Belakangan, kita mengetahui bahwa Chindil melakuakn pencapaian-pencapaian terbaiknya di bidang sastra, tetaer, dan film.

Selepas Sanggar Anom, saya masih berhubungan erat dengan Chindil dalam rangka kerja kreatif. Sesungguhnya, hal ini adalah cultur kreatif di Jogja. Kita bisa terlibat dalam wadah dan matra seni berbeda. Di sana juga, kita bisa bertemu dengan teman dan kesempatan baru.

Pada waktu-waktu senggang (tidak banyak), Cindhil adalah teman cekikikan, terutama dengan Black (Tri Sugiyarto – red.) ketika membahas siaran wayang kulit di radio. Bagian Goro-Goro alm. Sigit Sugito adalah bahasan yang tak pernah habis. Kemampuannya melakukan on-off, masuk dalam cerita, keluar mencincang kehidupan rumah tangga para niaga, dan masuk lagi pada Bagong yang memain-mainkan aksen Buto Cakil kami anggap sebagai paripurna.

Ndhil, ingatkah kamu ketika aku dan Joned main ke rumah barumu, melakukan dokumentasi latihan gerak tubuh, dan mengunggahnya di FB? Ya, itu adalah “tandingan” unggahan FB-mu yang menampilkan foto-foto latihan gerak tubuh di rumah barumu, kursus akting dasar untuk para artis sebelum mereka melakuan pengambilan gambar. Kamu pasti ingat! Sebab kau kirim “prex” di HP-ku. Jinganoq kowe, Ndhil! Selamat jalan, kawan! Kalau bertemu bapakku, sampaikan salam dan bilang bahwa kita berteman. Ceritakan juga kita mandi bersama di belik, di Sendowo, sambil membicarakan anak pemilik warung depan sanggar. Sekarang, dia jaga warung ayam tulang lunak dekat Pasca UGM. Jinganoq kowe! Ra iso diverifikasi ta infoku?!

(“Catatan Kusen” yang pertama diunggah di GWA Sanggar Anom ini sudah dipublikasikan juga di Tempo – Red.)

Kusen Alipah Hadi
Antropolog, Direktur Yayasan Umar Kayam, Ketua Koalisi Seni Indonesia

3 Responses

  1. Genthong HSA says:

    SUATU PAGI DI SANGGAR SENDOWO
    .
    💥🌿
    Tumben ia bangun pagi sekali. Biasanya di atas jam 07.00, atau lebih telaat lagi malah.
    “Mas pinjam spdmotor sebentar ya”
    “Yo, arep nang ndi kowe, iki nuthig, goleka sarapan pisan…”
    Dalam penampilan bangun tidur BELUM CUCI MUKA, ia keluar sebelum jam enam pagi. Tak sampai 20 menit tetapi, kudengar ia sudah kembali, ternyata membawa seseorang. Orang itu bercelana celana polisi yg lusuh, hemdnya nampak sedikit karena tertutup jaket, sama lusuhnya, begitu pula jaketnya. Beda benar dengan polisi jaman sekarang, yang necis, rapi, wajah terang.
    Polisi yg menyertai Cindhil hanya sedikit lebih fresh dari Cindhil.
    Kerna tak pakai helm, ia ditilang, Siapa yg menilang Cindhil ? Jelas, polisi miskin butuh uang, dia minta 100 ribu Rupiah, minimal 50 ribu.
    “Hihix, sampeyan ada2 saja”, kataku, “ini baru jam setengah enam sampeyan sudah nilang orang. Sampeyan pikir saya siapa? Juragan kaya ?!”
    Kaget pak polisi, tak mengira akan mendapatkan perjamuan istimewa.
    “Saya pembina seni adik2 di sni, sampeyan kira saya menerima bayaran, saya digaji ? Anak ini keluar cari sarapan, itu uang saya yang dibawa. Sekarang Sampeyan minta duit segitu gedhe untuk kesalahan yg bukan kesalahan, naik motor tak pakai helm sebelum jam 6 pagi yg sepi.”
    Sang petugas kepalang basah, mundur malu, tanpa hasil malu, nasibku harus dipalak pagi ini. Dan ia baru pergi setelah di hadapannya uang yang dibawa Cindil kuminta dan kuberikan kepadanya, tigasetengah ribu Rupiah. Setelah dia pergi Cindhil kuajak sarapan di Warung emaknya Bagong, sambal tertawa dan geleng2 kepala.
    🌿
    Di lain waktu siang hari, dia bergegas bangun, cepat mandi, lalu lari ke masjid kecil di pintu gang masuk ke Blok D, sanggar di D – 77.
    Selesai Jumatan sambil berjalan pulang kutanya, “Enak-enak nglempus kok njenggirat bangun ikut jumatan, ada apa ndil ?!”
    “Kula di-ithik-ithik kalih dikethak-i mas?” “Sing mbahureksa sanggar?^
    “Boten, lare-lare alit, kathah…”
    ( Saya senyum saja, Sanggar Sendowo memang serem, rumah tua yang lama tak dihuni, di belakangnya ada 3 pohon Randu yg tinggi, bukan randualas. Di belakang ketiga pohon randu sedikit menjauh ada Kamar Mayat RS Sadjito.
    🌿
    Waktu yang lain lagi, siang hari,
    jam 11, Cindil bangun, mandi. Karena sudah siap kuajak ke warung, makan. Sepulang makan dia segera berdandan “rapi”, pakai sepatu. “Mau ke mana kamu ndil, nyepatu segala ?^
    “Ujian mas”
    “Ujian apa ?”
    “UMPTN”
    “Cah edan, kancamu gedubrakan ribut saben dina, kowe meneng wae sajak wis emoh sekolah. Arep melu ujian turu thok gaweanmu. Ya wis kana budhal, muga2 lulus…”, kataku tak habis pikir. Dia santai saja, ketawa-tawa.
    Hasilmya ? Cewek sanggar yang satu sekolah dengan Cindhil dan Aryo protes ( kepada langit barangkali ) “Sial, ora adil, Aryo organisasi terus, festival wayang seminggu lebih ijin terus, lolos UMPTN. Cindhil ra tau sinau, tiduur terus, lolos UMPTN. Aku rajin belajar buat apa, gagal…!!
    🌿
    “Teman2mu di sanggar ini ndil, nampaknya tak ada yg interes mau jadi pekerja teater. Mereka mahasiswa taat yang rajin kuliah. Kalau kamu ingin lebih serius menekuni seni teater dan yang lain-lain, coba nyambi cari grup teater di Fak Sastra, kamu Sastra Jawa to, pasti ada.”
    “Yang aktif teater sospol, mas”
    “Yaa…, kamu juga bisa ikut teater sospol, Yudi pernah datang ke mari, coba saja temui dia.”
    Itu pembicaraan di pagi yg sepi, ketika yg lain kuliah, Cindil masuk jurusan Sastra Jawa langsung bosan dan kecewa.
    Pemuda mungil ini sangat rendah hati, ia kulatih persiapan pentas dua kali, Waiting for Godot Samuel Beckett dan Kebun Ceri Anton Checkov. Sebenarnya, bakat sama saja dengan yang lain, dilatih juga tak langsung menguasai. Menunggu Godot ia bermain sebagai ANAK, tak begitu menantang tuntutan keaktorannya. Tetapi dalam Kebun Ceri, semua diuji, termasuk si pelatih/sutradara.
    Pentas OIDIPUS SANG RAJA dan WAITING For GODOT jauh lebih mudah dari pentas KEBUN CERI. Struktur dramatika Oidipus Rex kuat dan jelas. Meski flat, sering mendatar, WfG memiliki intensitas progresi dramatik super unik, masuknya Pozzo dan Happy ke stage misalnya, atau Happy yg diikat lehernya dan ditarik jatuh.
    Meski bakatnya rata-rata, Cindil nampak lebih serius ingin menekuni seni teater. Ia lebih memperhatikan bila dijelaskan, lalu berlatih sendiri mengulang adegannya. Itu saja mungkin bedanya.
    🌿
    Hanung dan Agunh Bungsu seusai pentas WfG mendapat hadiah push up 100 kali. Hanya karena kelewatan berpuas diri, cenderung bersombong-ria. Memang pentas WfGodot lumayan berhasil. Tapi saya risih bila anak binaan saya menepuk dada sebagai Jagoan, si Mumpuni, pokoknya Sombong push up
    Di TBS Hanung sambil cuci muka di washtafel deretan toilet Teater Arena berteriak keras : “SEKARANG AKU SEORANG AKTOR…..”
    Dia kaget setengah mati ketika saya keluar dari salah satu kamar kecil, dia tak tahu saya ada di situ.
    🌿
    Membaca puisinya dan riwayat hidupnya sejak kecil ( ibunya meninggal dunia dan ia minggat dari rumah ketika ayahandanya membangun rumahtangga yang baru ), membuat siapa saja terharu. Sungguh lembut hatinya.
    Pernah aku berpesan kepadanya : “nDil, 50 tahun berteater belum pernah aku dibayar, semua kerjaku tombok. Itu nasib kami, orang2 tua, jaman dulu siapa mau membayar.
    Kini jaman kalian berbeda, nikmatilah. Tapi jangan kau lupakan kenyataan itu, tanpa dibayar kami tetap bersetia kepada seni teater, kamu yg terima bayaran jangan menjadi lupa diri.”
    “Njih mas…”
    Si lembut hati, meski secara prestasi mengungguli aku, puisinya memenangkan Khatulistiwa Award, jauh lebih indah dan bermakma dari puisiku sendiri. Dan akting Cindhil dimahkotai Piala Citra. Namun ia tetap rendah hati, menghormatiku sebagai orang tua, apa adanya.
    🌿
    Aku kasihan sobat pekerja teater kota tetangga, ditinggal pergi begitu saja kepanityaan Pesta Perak Perkawinannya oleh anak binaannya sendiri. “Kucing sudah jadi macan, ia takut tercemar martabatnya ngurusi aku”, komentar si tua.
    Untunglah si Lembut Hati beda. Satu kalipun, belum pernah ia sakiti hatiku, sengaja ataupun tidak.
    Sungguh sayang, justru Kaliber Cemerlang ini yang dikehendaki Allah Swt segera berpulang, “hidup hanya menunda kekalahan”, kata Chairil Anwar.
    .
    🙏🙏🙏

  2. G. Hariono seloLi says:

    SUATU PAGI DI SANGGAR SENDOWO
    .
    💥🌿
    Tumben ia bangun pagi sekali. Biasanya di atas jam 07.00, atau lebih telaat lagi malah.
    “Mas pinjam spdmotor sebentar ya”
    “Yo, arep nang ndi kowe, iki nuthig, goleka sarapan pisan…”
    Dalam penampilan bangun tidur BELUM CUCI MUKA, ia keluar sebelum jam enam pagi. Tak sampai 20 menit tetapi, kudengar ia sudah kembali, ternyata membawa seseorang. Orang itu bercelana celana polisi yg lusuh, hemdnya nampak sedikit karena tertutup jaket, sama lusuhnya, begitu pula jaketnya. Beda benar dengan polisi jaman sekarang, yang necis, rapi, wajah terang.
    Polisi yg menyertai Cindhil hanya sedikit lebih fresh dari Cindhil.
    Kerna tak pakai helm, ia ditilang, Siapa yg menilang Cindhil ? Jelas, polisi miskin butuh uang, dia minta 100 ribu Rupiah, minimal 50 ribu.
    “Hihix, sampeyan ada2 saja”, kataku, “ini baru jam setengah enam sampeyan sudah nilang orang. Sampeyan pikir saya siapa? Juragan kaya ?!”
    Kaget pak polisi, tak mengira akan mendapatkan perjamuan istimewa.
    “Saya pembina seni adik2 di sni, sampeyan kira saya menerima bayaran, saya digaji ? Anak ini keluar cari sarapan, itu uang saya yang dibawa. Sekarang Sampeyan minta duit segitu gedhe untuk kesalahan yg bukan kesalahan, naik motor tak pakai helm sebelum jam 6 pagi yg sepi.”
    Sang petugas kepalang basah, mundur malu, tanpa hasil malu, nasibku harus dipalak pagi ini. Dan ia baru pergi setelah di hadapannya uang yang dibawa Cindil kuminta dan kuberikan kepadanya, tigasetengah ribu Rupiah. Setelah dia pergi Cindhil kuajak sarapan di Warung emaknya Bagong, sambal tertawa dan geleng2 kepala.
    🌿
    Di lain waktu siang hari, dia bergegas bangun, cepat mandi, lalu lari ke masjid kecil di pintu gang masuk ke Blok D, sanggar di D – 77.
    Selesai Jumatan sambil berjalan pulang kutanya, “Enak-enak nglempus kok njenggirat bangun ikut jumatan, ada apa ndil ?!”
    “Kula di-ithik-ithik kalih dikethak-i mas?” “Sing mbahureksa sanggar?^
    “Boten, lare-lare alit, kathah…”
    ( Saya senyum saja, Sanggar Sendowo memang serem, rumah tua yang lama tak dihuni, di belakangnya ada 3 pohon Randu yg tinggi, bukan randualas. Di belakang ketiga pohon randu sedikit menjauh ada Kamar Mayat RS Sadjito.
    🌿
    Waktu yang lain lagi, siang hari,
    jam 11, Cindil bangun, mandi. Karena sudah siap kuajak ke warung, makan. Sepulang makan dia segera berdandan “rapi”, pakai sepatu. “Mau ke mana kamu ndil, nyepatu segala ?^
    “Ujian mas”
    “Ujian apa ?”
    “UMPTN”
    “Cah edan, kancamu gedubrakan ribut saben dina, kowe meneng wae sajak wis emoh sekolah. Arep melu ujian turu thok gaweanmu. Ya wis kana budhal, muga2 lulus…”, kataku tak habis pikir. Dia santai saja, ketawa-tawa.
    Hasilmya ? Cewek sanggar yang satu sekolah dengan Cindhil dan Aryo protes ( kepada langit barangkali ) “Sial, ora adil, Aryo organisasi terus, festival wayang seminggu lebih ijin terus, lolos UMPTN. Cindhil ra tau sinau, tiduur terus, lolos UMPTN. Aku rajin belajar buat apa, gagal…!!
    🌿
    “Teman2mu di sanggar ini ndil, nampaknya tak ada yg interes mau jadi pekerja teater. Mereka mahasiswa taat yang rajin kuliah. Kalau kamu ingin lebih serius menekuni seni teater dan yang lain-lain, coba nyambi cari grup teater di Fak Sastra, kamu Sastra Jawa to, pasti ada.”
    “Yang aktif teater sospol, mas”
    “Yaa…, kamu juga bisa ikut teater sospol, Yudi pernah datang ke mari, coba saja temui dia.”
    Itu pembicaraan di pagi yg sepi, ketika yg lain kuliah, Cindil masuk jurusan Sastra Jawa langsung bosan dan kecewa.
    Pemuda mungil ini sangat rendah hati, ia kulatih persiapan pentas dua kali, Waiting for Godot Samuel Beckett dan Kebun Ceri Anton Checkov. Sebenarnya, bakat sama saja dengan yang lain, dilatih juga tak langsung menguasai. Menunggu Godot ia bermain sebagai ANAK, tak begitu menantang tuntutan keaktorannya. Tetapi dalam Kebun Ceri, semua diuji, termasuk si pelatih/sutradara.
    Pentas OIDIPUS SANG RAJA dan WAITING For GODOT jauh lebih mudah dari pentas KEBUN CERI. Struktur dramatika Oidipus Rex kuat dan jelas. Meski flat, sering mendatar, WfG memiliki intensitas progresi dramatik super unik, masuknya Pozzo dan Happy ke stage misalnya, atau Happy yg diikat lehernya dan ditarik jatuh.
    Meski bakatnya rata-rata, Cindil nampak lebih serius ingin menekuni seni teater. Ia lebih memperhatikan bila dijelaskan, lalu berlatih sendiri mengulang adegannya. Itu saja mungkin bedanya.
    🌿
    Hanung dan Agunh Bungsu seusai pentas WfG mendapat hadiah push up 100 kali. Hanya karena kelewatan berpuas diri, cenderung bersombong-ria. Memang pentas WfGodot lumayan berhasil. Tapi saya risih bila anak binaan saya menepuk dada sebagai Jagoan, si Mumpuni, pokoknya Sombong push up
    Di TBS Hanung sambil cuci muka di washtafel deretan toilet Teater Arena berteriak keras : “SEKARANG AKU SEORANG AKTOR…..”
    Dia kaget setengah mati ketika saya keluar dari salah satu kamar kecil, dia tak tahu saya ada di situ.
    🌿
    Membaca puisinya dan riwayat hidupnya sejak kecil ( ibunya meninggal dunia dan ia minggat dari rumah ketika ayahandanya membangun rumahtangga yang baru ), membuat siapa saja terharu. Sungguh lembut hatinya.
    Pernah aku berpesan kepadanya : “nDil, 50 tahun berteater belum pernah aku dibayar, semua kerjaku tombok. Itu nasib kami, orang2 tua, jaman dulu siapa mau membayar.
    Kini jaman kalian berbeda, nikmatilah. Tapi jangan kau lupakan kenyataan itu, tanpa dibayar kami tetap bersetia kepada seni teater, kamu yg terima bayaran jangan menjadi lupa diri.”
    “Njih mas…”
    Si lembut hati, meski secara prestasi mengungguli aku, puisinya memenangkan Khatulistiwa Award, jauh lebih indah dan bermakma dari puisiku sendiri. Dan akting Cindhil dimahkotai Piala Citra. Namun ia tetap rendah hati, menghormatiku sebagai orang tua, apa adanya.
    🌿
    Aku kasihan sobat pekerja teater kota tetangga, ditinggal pergi begitu saja kepanityaan Pesta Perak Perkawinannya oleh anak binaannya sendiri. “Kucing sudah jadi macan, ia takut tercemar martabatnya ngurusi aku”, komentar si tua.
    Untunglah si Lembut Hati beda. Satu kalipun, belum pernah ia sakiti hatiku, sengaja ataupun tidak.
    Sungguh sayang, justru Kaliber Cemerlang ini yang dikehendaki Allah Swt segera berpulang, “hidup hanya menunda kekalahan”, kata Chairil Anwar.
    .
    🙏🙏🙏

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *