WARUNG BU GIN
Warung, per definisi, berbeda dengan restoran. Yang kelihatan tentu saja adalah bentuk fisik. Warung lebih sederhana; meja-kursi kayu sedikit lusuh, tanpa daftar menu, pembeli diandaikan tahu sendiri karena toh menu itu sehari-hari kita jumpai di rumah: sayur lodeh, gorengan, bakmi, oseng terong, sambal, ayam goreng, dan sebagainya. Semuanya familiar. Restoran tentu berbeda, bersih, dan daftar menu sering menggunakan bahasa Inggris agar kerén. Sekedar satu contoh, tahukah Anda pembaca budiman, menu Vegetable tempura? Sungguh imajinasi yang wah, bercita-rasa internasional. Ketika pesanan itu datang ke meja, seketika otak terjemahan kita mengatakan, oh … vegetable tempura adalah bakwan. Sedikit rasa kecewa tentu ada, tapi karena harganya mahal, bisa 3-4 kali lipat dari harga pinggir jalan, yang juga memiliki istilah kerén “streetfood,” kita pun mesti mengatakan enak, gurih, dan nyuss….
Apa yang istimewa dari warung, sehingga begitu lekat dengan memori dan hidup kita sehari-hari? Harganya yang murah? Karena kita bisa gabrul? Atau eksotika kekumuhan? Nah, Anda pun bisa menjawabnya sendiri, tergantung keinginan dan pengalaman. Namun, yang ingin saya ceritakan kali ini, warung yang sedikit berbeda dari imaji-imaji romantik warung pada umumnya. Kita hanya dapat menemukan warung itu jika kita pergi ke Kaliurang, tepatnya di sebelah barat Patung Urang. Ya, warung itu hanya ada di Kaliurang!
Bangunan warung itu sederhana, masih bersih dan terlihat baru, karena belum lama direnovasi oleh komunitas dermawan. Konon, kata empunya warung, ide renovasi itu datang dari beberapa dokter yang tergabung dalam komunitas elite hash house harriers. Mereka memberikan bantuan renovasi agar warung bersih dan layak.
“Saya hanya menyediakan makan untuk para tukang, gak enak Mas … lha wong sudah dibantu kok menehi mangan tukang mawon mboten gelem (sudah dibantu kok memberi makan tukang saja tidak mau),” demikian kata Bu Gin, sang pemilik warung berkisah.
Sosok sepuh yang biasa dipanggil Bu Gin itu kelihatan ringkih, namun masih sehat dan lincah. Ia selalu ramah menyapa para pelanggannya dan hapal nama-nama pelanggan beserta kebiasaannya. Sebaliknya, para pelanggan pun selalu ingat Bu Gin karena suka dikasih diskon. Bahkan, jika pelanggan lupa bawa dompet, dengan enteng Bu Gin akan bilang, “mboten napa-napa, sesuk mawon … yen saget tindak mriki malih, yen mboten saget njih mboten napa-napa (tidak apa-apa, besok saja … jika bisa datang ke sini lagi, jika tidak bisa yang tidak apa-apa).” Itulah Bu Gin, sosok perempuan yang senantiasa mengedepankan ketulusan srawung dengan para konsumen.
Para pelanggannya berasal dari berbagai kalangan. Sales, wisatawan, satpam, tentara, tetangga, dan tentu saja, para penggowes akhir pekan. Penggowes Kaliurang-an, demikian sering disebut oleh Pak Arif yang biasa dipanggil Pak Kepala Sekolah, meski sehari-hari berprofesi sebagai juru potret. Hampir semua penggowes Kaliurang-an mengenal Pak Kepala Sekolah, sapaan hormat sekaligus akrab untuk menghaluskan kata sepuh … hehehehe. “Takut kualat jika tidak menyapa,” seloroh Mas Rico, seorang penggowes muda yang pengalaman jelajah touring-nya setara jarak bus AKAP, Antar Kota Antar Provinsi.
Para pelanggan cum penggowes ini menemukan oase, ruang reriungan bersama di warung Bu Gin. Mereka tak lagi memedulikan asal-usul, ras, agama, kelas sosial, gender, pekerjaan, atau apa pun yang sering menjadi identitas pembeda. Semua lebur dalam ruang perbincangan di warung Bu Gin. Topik perbincangan pun melompat-lompat, dan menerobos batas-batas antara hal serius maupun humor, guyonan, gojekan. Sekali waktu, Beberapa orang membincangkan serius soal resilien komunitas menghadapi ancaman Virus Covid 19, namun seolah tak perlu menunggu tuntas layaknya obrolan, topik perbincangan pun telah melompat ke bidang remeh-temeh soal makanan. Apakah ada keluhan? Tidak. Apakah ada konflik? Tidak juga.
Warung Bu Gin tidak sekedar warung jualan makanan, namun telah menjelma menjadi “liminal sphere,” ruang sosio-kultural yang membawa siapapun pada suasana tidak di sini dan tidak di sana, in between, betwixt. Bisa jadi, ruang itu, pelan-pelan tanpa disadari, telah bermetamorfosis menjadi ruang sosio-kultural yang menihilkan hasrat kuasa dan kekuasaan seperti yang digagaskan Claude Lefort. Bombastis? Sangat mungkin. Namun, setidaknya kita memahami bahwa hidup sosial dalam masyarakat yang tingkat “trust” atau kepercayaan rendah, di mana perbedaan mudah sekali menjadi konflik, hantam-hantaman antar kelompok, maka ruang-ruang yang mampu mengosongkan hasrat kuasa itu sungguh diperlukan kehadirannya. Warung sebagai ruang liminal, minimum, telah menjadi pilar kecil yang memberikan oase sekaligus tiang penyangga keragaman.
Terima kasih, Bu Gin, atas jerih payah dan ketulusanmu membangun warung kecil keberagaman. Semoga njenengan diberkahi kesehatan dan kebahagiaan!
Bambang-K. Prihandono