SEMELAH MBAH BUYUUUT….!
“Semelah Mbah Buyuuut…!” sebut Limbuk ketika akan nyengklak sepedanya yang dibebani dua keronjot sayur-mayur di boncengannya dalam naungan matahari pagi.
“Hus!” potong Cangik yang juga siap tinggal landas dengan sepedanya memboncengkan dua keronjot buah-buahan, “Kamu ini jangan sembarangan kalau berdoa! Nanti ditangkap laskar berani mati!”
“Lho, salahku apa?” sergah Limbuk tak jadi nyengklak sepedanya.
“Kamu mencampuradukkan Tuhan Islam dengan arwah leluhur,” jawab Cangik.
“Mencampuradukkan gimana? Aku kan cuma mengikuti adat leluhur turun-temurun kalau akan berbuat sesuatu agar selamat dan lancar. Tak ada hubungannya dengan Tuhan Islam! Apalagi mencampuradukkan!” bantah Limbuk.
“Tapi kamu menyebut Tuhan Islam secara keliru,” lanjut Cangik tak peduli. “Mestinya kamu mengucapkan Bismillah, bukan Semelah! Lalu kamu menyebut arwah leluhur Mbah Buyut sejajar dengan Gusti Allah! Ini namanya menyekutukan Tuhan alias Musyrik! Dalam ajaran Islam, Musyrik ini dosa paling besar yang tidak bisa diampuni Gusti Allah!”
“Lho, lho, lho…! Dari mana kamu dapat cerita itu?” sahut Limbuk penasaran.
“Dari pengajian dengan ibu-ibu dan ustad-ustad,” jawab Cangik.
“Heh, pengajian? Sejak kapan kamu ikut pengajian? Memangnya boleh ikut pengajian dengan baju kemben batikmu yang telanjang bahu ala yukensi dan rambut tergerai tanpa jilbab?” cecar Limbuk.
“He, he, he… aku cuma ikut pengajian di telepisi, jadi tak perlu pakai baju krudhuk-krudhuk gaya Arab Saudi,” jawab Cangik terkekeh.
“Sialan, kukira kamu ikut pengajian betulan, ternyata pengajian maya. Pasti gurunya laki-laki! Tul nggak?” tebak Limbuk.
“Tul!” jawab Cangik.
“Dan pesertanya semuanya perempuan, berbaju seragam dan berjilbab! Tul nggak?”
“Tul! Lha kamu kok tahu?” tanya Cangik.
“Lhah, itu kan kemandangan biasa di telepisi Indonesia. Biasanya pagi-pagi. Tasiun-tasiun telepisi rame-rame menyuguhkan tontonan pengajian. Gurunya laki-laki yang suka mengutip ayat-ayat Qur’an dan potongan-potongan hadis Nabi dalam bahasa Arab dengan amat fasihnya. Pesertanya dua puluh atau tiga puluhan orang, semuanya perempuan, berbaju krudhuk-krudhuk, mendengarkan ajaran sang ustad dengan hidmad. Tul nggak?” tebak Limbuk.
“Ha, ha, ha…. ketahuan, ternyata kamu juga nonton pengajian!” jawab Cangik senang.
“Aku nggak nonton, cuma obserpasi!” sahut Limbuk. ”Aku heran, di jaman demokrasi dan keadilan jender, telepisi-telepisi Indonesia kok masih menyajikan tontonan yang mengusik rasa keadilan jender dan berpotensi mempermalukan Indonesia di mata dunia! Apa ibu-ibu dan bapak-bapak petinggi negara tidak berbuat apa-apa untuk memperbaiki situasi ini?”
“Eh, kamu jangan salah Mbuk!” potong Cangik. “Tontonan macam itu banyak penggemarnya dan mendatangkan banyak fulus pada perusahaan telepisi. Pada gilirannya, negara menerima pajak dari perusahaan media. Jadi, selama tidak ada ribut-ribut resah gelisah di masyarakat, ibu-ibu dan bapak-bapak petinggi negara akan diam-diam saja!”
“Ya, tapi para perempuan aktipis peminis apa diam saja?!” sergah Limbuk setengah jengkel.
“Lhoh, kamu kok jadi berang? Santai saja! Kita kan cuma wayang! Yang penting kan kita boleh tetap kembenan dengan bahu telanjang dan rambut tergerai, digelung atau dikepang, seperti gadis-gadis Eropa di musim panas!” sambut Cangik.
“Ha, ha… betul juga! Untungnya belum ada penyungging wayang yang membuat Limbuk dan Cangik berhijab!” kata Limbuk sambil nyengklak sepeda dan berdoa,“Semelah Mbah Buyuuut…!”
Darwis Khudori