YU MODIN DAN MBAK IMAM
Ketika Cangik dan Limbuk sedang duduk-duduk petan (mencari kutu rambut) di bawah pohon beringin teduh dalam semilir angin nan menyegarkan jiwa-raga, tiba-tiba terdengar suara azan yang memekakkan telinga dari pengeras suara masjid terdekat yang disambut bersahut-sahutan oleh pengeras suara masjid dari berbagai penjuru desa.
“Mbuk,” bisik Cangik di telinga Limbuk, “Tahu nggak aku semalam mimpi indah sekali?”
“Tahu,” jawab Limbuk tangkas, “Pasti ketemu wong bagus, he, he…”
“Ngawur!” sahut Cangik. “Aku mendengar suara azan yang dilantunkan perempuan, merduuu sekali, lembut dan meneduhkan, tidak seperti suara azan laki-laki yang sedang kita dengar saat ini.”
“Hah, perempuan azan?!” potong Limbuk. “Mana ada? Yang ada itu Kang Modin, bukan Yu Modin! Kamu ini kalau ngomong jangan ngayawara, nanti digeruduk pe-be-em!”
“Apa itu pe-be-em?”
“Pasukan berani mati!”
“Ha, ha… kukira pasukan berani makan!”
“Ha, ha… betul juga, mereka itu berani makan apa saja sampai mati. Jadi jaga mulutmu!”
“Lhah, aku kan cuma mimpi, mosok dilarang?!”
“Oh, ya, ya, terus piye?”
“Suara azan perempuan itu kedengarannya sayup-sayup jauh sekali menembus fajar di ufuk timur. Aku berusaha mencari sumbernya. Rasanya datang dari arah matahari terbit. Akupun berjalan bergegas ke sana menembus pagi buta, mengikuti jalan setapak, di antara sawah-sawah dan hutan-hutan kecil, sampai akhirnya kulihat sebuah masjid di puncak bukit. Tiba di sana, aku hampir tak percaya kepada yang kulihat: laki-laki dan perempuan sedang bersiap-siap salat subuh, mereka berjarak satu sama lain, tapi tidak membentuk dua kelompok terpisah. Bahkan ada juga satu dua kenya-wandu. Mereka bercampur dan berselang-seling. Mereka juga berpakaian bebas tapi sopan, yang perempuan ada yang berjilbab, ada yang berkerudung tipis, ada yang rambutnya dikepang dua, ada yang dikucir seperti ekor kuda. Yang laki-laki, ada yang berpeci, bekopiah, berbelangkon atau bertelanjang kepala. Suasananya terasa bebas tapi tata-titi-tentrem-tertib-rukun dan khusuk. Yang lebih menakjubkan lagi: imamnya perempuan, tidak berhijab, cuma berkerudung longgar yang indah,” cerita Cangik nerocos.
“Wah, ini menarik sekali!” sahut Limbuk. “Aku pernah mendengar cerita yang mirip dari sebuah negara di Ngeropa yang namanya Parangakik. Di sana ada beberapa komunitas muslim yang menghormati keadilan jender. Misalnya perkumpulan yang bernama ‘Voix d’un islam éclairé’ yang artinya ‘Suara sebuah Islam yang Tercerahkan’. Modinnya perempuan bernama Anne-Sophie, seorang guru musik. Imamnya juga perempuan bernama Eva. Tapi imam perempuan yang paling terkenal bernama Kahina Bahloul, seorang doktor Islamologi dari Universitas Paris-Sorbonne. Dia punya proyek mendirikan masjid yang akan dinamakan Fatima, nama putri Nabi Muhammad….”
“Hah? Kok mirip sekali dengan mimpiku? Yang benar! Dari mana asal ceritamu?” tanya Cangik penasaran.
“Dari Eyang Gugel, he, he,…” jawab Limbuk santai.
“Jangan-jangan Mbak Imam dalam mimpiku itu Kahina Bahloul. Kamu tahu alamatnya nggak? Alamat emailnya atau WA-nya, siapa tahu aku bisa mengontaknya?”
“Untuk apa?”
“Kalau betul ada komunitas muslim macam itu aku mau masuk Islam.”
“Lho, memangnya agamamu apa?” tanya Limbuk heran.
“Lhah, aku kan nggak punya agama. Mosok wayang kok beragama. Memangnya kamu punya agama?” sergah Cangik.
“Ha, ha,… betul juga. Ini namanya wayang-wayang bahagia!” simpul Limbuk.
Darwis Khudori