Mekanisme Adaptasi dan Lompatan Budaya
Kesadaran seringkali baru hadir ketika dihadapkan dengan kenyataan. Besarnya kesenjangan dan disparitas budaya antara pusat dan pinggiran seketika ‘menyodok ke ulu hati’ saat dihadapkan dengan realitas sosial yang tak terelakkan. Situasi yang menyesakkan hati menyayat seperti mata pisau menghujam ke dalam dada menimbulkan perih. Dampak pandemi memaksa semua pihak menerima kenyataan untuk bisa tetap bertahan dengan berbagai terobosan kebijakan publik menjaga jarak sosial dan menghindari kerumunan dengan solusi teknologi komunikasi berbasis jaringan internet. Kebijakan belajar dari rumah, bekerja dari rumah, seminar , ujian, jual beli dari rumah menggantikan pertemuan tatap muka (luring) dengan sistem daring.
Tidak mudah untuk cepat beradaptasi karena pemanfaatan teknologi mengandaikan sistem yang terpusat dengan prasyarat fisik yang harus terpenuhi seperti ketersediaan sistem jaringan internet yang berbasis kabel atau nir kabel menggunakan serat optik. Juga dukungan ketersediaan perangkat teknologi komputer, laptop, mobile phone, yang memenuhi spesfikasi. Tidak cukup dengan ketersediaan sarana dan prasarana teknologi, kapasitas sumber daya manusia yang memadai juga sangat dibutuhkan untuk dapat mengoperasikan teknologi komunikasi tersebut.
Semua kalangan dipaksa untuk memasuki kultur digital. Hal ini menarik karena Indonesia dalam tahapan kebudayaan sesungguhnya belum sepenuhnya melewati kultur agraris. Indonesia masih mencanangkan untuk memasuki industri 4.0 meskipun kita sama sekali belum mengalami revolusi industri sebagaimana negara maju seperti Inggris, Perancis dan lainnya sudah mengalami tahapan revolusi industri sejak abad ke 17. Sekarang ini kita sudah memasuki budaya pasca industri di sebagian negara maju, sementara kita masih dipaksa merangkak menuju kultur industri dengan tertatih.
Bisa dibayangkan bagaimana proses gegar kebudayaan yang dialami oleh lapisan masyarakat Indonesia yang sangat beragam tingkat melek huruf, literasi teknologi, hingga kemampuan mengakses prasarana teknologi berbasis internet. Tak ayal, kita sebenarnya sendang dipaksa menjadi ‘konsumen’ dari berbagai produk-produk budaya digital yang membangun realitas dari ‘ dunia maya’. Sebuah dunia yang sesungguhnya nir realitas. Kultur digital sedang membangun penyeragaman ‘selera’ melalui rekaya iklan. Kebutuhan diciptakan dengan strategi iklan yang massif bukan berdasarkan kebutuhan yang nyata.
Meskipun data menunjukkan pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 ini mencapai 202,6 juta jiwa. Paling besar akses internet yang dilakukan oleh masyarakat dengan menggunakan tilpun pintar (smartphone) mencapai 98,3 persen dengan rentang usia 16-64 tahun. Tercatat ada 96,4 persen atau 195,3 juta orang Indonesia yang mengakses di internet melalui ponsel genggam. (Kompas, 23/02/2021).
Kultur digital memang telah merasuki sendi-sendi kebudayaan kita tanpa terelakkan. Orang kampung kota yang sederhana, bahkan orang yang tinggal di gunung, di pinggiran hutan, dipaksa untuk mengikuti budaya baru yang semakin gencar disosialisasikan melalui iklan yang menawan, seperti dinyalir oleh Bambang K Prihandono dalam rubrik Udarasa, jika tidak mengikuti arus budaya, orang akan mencibir dasar ketinggalan zaman.
Bisa dibayangkan bagaimana dengan masyarakat yang tinggal di pedalaman seperti Papua dimana, akses listrik saja tidak tersedia. Bagaimana mereka akan dapat mengadaptasi budaya ‘digital ini’. Realitas ini adalah sebuah ketimpangan budaya yang menyesakkan. Apalagi mengikuti, mereka akan langsung ‘terjun bebas’ menjadi bulan-bulanan dari budaya digital ini, tanpa perlawanan sama sekali. Bahkan kosumen sejati yang dengan mentereng menenteng tilpun pintar, mudah terjebak dalam ritual yang sama, ikut melanggengkan stigmatisasi ‘keterbelakangan budaya’ masyarakatnya sendiri karena tidak mampu mengikuti kultur ‘konsumen global’ tersebut.
Yang lebih miris, kita juga dihadapkan dengan kenyataan bahwa ‘budaya digital’ telah menjadi rujukan utama tanpa reserved apa pun, sehingga kultur budaya Indonesia dibangun tanpa ‘proses menemukan kebenaran yang benar’. Dengan kultur digital semua orang dapat mendapatkan informasi apa pun, dan sulit membedakan antara yang benar dengan ‘hoax’. Seperti disinyalir oleh Aflin Toffler, penulis ternama, dengan lompatan budaya itu, maka sebenarnya kita sedang memasuki budaya ‘buta huruf yang kedua’ (second illiteracy).
Akibatnya bisa sangat dahsyat, kultur masyarakat tidak mengalami ‘proses internalisasi mendalam’ tetapi bersifat ‘reaktif’ dan reaksioner dalam merespon apa saja. Penyesatan pikir menjadi sedemikian menakutkan dan menggilas apa saja, apalagi dibalut dengan ‘ayat-ayat agama’. Tantangan besar bagi semua pihak untuk membangun budaya yang berbasis pada data ilmiah dan nalar yang waras untuk memanfaatkan perkembangan sains dan teknologi untuk keadaban publik. (Red)