Diaspora Orang Kotagede

Menyangga Keberagaman, Keselarasan, dan Kelestarian

Diaspora Orang Kotagede

Oleh: Erwito Wibowo

Kita mengenal diaspora Jawa merujuk kelompok demografi keturunan etnis Jawa yang bermingrasi dari wilayah asal mereka di Jawa-Indonesia ke belahan dunia lainnya, dikarenakan adanya kepentingan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang membuka perkebunan dengan membawa pekerja kasar dari tanah Jawa ke Kalidonia, Madagaskar, Suriname, dan Belanda. Di Suriname bahkan sampai memiliki populasi sekitar 3,7 juta orang saat ini. Kenapa sampai tidak kembali ke Indonesia? Salah satunya, dikarenakan judi. Berdasarkan kisah pengamatan kenyataan keseharian di tempat penampungan para kuli kontrak yang kemudian ditulis menjadi dua novel “Kuli” dan “Berpacu Nasib di Kebun Karet” yang ditulis oleh M.H. Szekely-Lulofs. Gaji mereka habis di tempat hiburan yang disediakan di dekat tempat penampungan pekerja kasar. Pekerja kasar yang mengandalkan fisik, cara yang paling mudah menyamankan kebugaran tubuhnya kembali, menurut persepsi mereka, yaitu tempat hiburan.

Kenyataannya, persepsi mereka keliru. Tempat hiburan justru melemahkan fisik serta mental mereka. Selain judi, pasti ada minuman keras dan wanita penghibur. Akibatnya, masa kontrak mereka habis, tidak punya uang untuk pulang ke tanah Jawa kembali. Terpaksa mereka kembali menandatangani atau cap jempol perjanjian kontrak sebagai kuli kontrak. Memang Belanda yang licik menciptakan situasi semacam itu, agar tidak ada biaya tanggung jawab mengembalikan ke Jawa lagi. Seterusnya nasib kuli Jawa berputar begitu, sampai renta dan tidak bisa kembali pulang ke Jawa. Nah, keturunan mereka menjadi diaspora Jawa.

Tetapi, ada juga yang bisa pulang kembali ke Jawa. Di Kotagede, sampai ada sejengkal titik tempat di perbatasan antara kampung Purbayan Kidul dengan Mutihan terletak persis berada di depan kampung Joyopranan. Sejengkal tempat itu oleh masyarakat Kotagede di tahun 1960-an disebut Kalidoni. Hal itu disebabkan ada seseorang yang pulang dari Kalidonia sebagai pekerja perkebunan di masa pemerintah kolonial Belanda. Sepulang ke Jawa, ke Kotagede, orang tersebut lantas membuka usaha warung di sejengkal tanah itu, dan masyarakat menyebutnya: Mbah Kalidoni. Dan sepeninggal Mbah Kalidoni, masyarakat Kotagede masih menyebut tempat itu dengan sebutan: Kalidoni. Dan, ternyata Mbah Kalidoni merupakan adik dari istri Mbah H. Hadjam, dari kampung Joyopranan yang pernah menjadi lurah di Singosaren.

Diaspora orang Kotagede ini berbeda dengan kondisi kuli kontrak perkebunan Belanda. Berbicara diaspora orang Kotagede, bukan tentang populasinya melainkan sebaran keberadaannya, menempati di banyak wilayah. Di wilayah regional saja, orang Kotagede bisa ditemukan bermukim sebagai penduduk di wilayah kemantren Gondomanan, Mergangsan, Pakualaman, Danurejan, Ngampilan, Umbulharjo. Juga dengan mudahnya orang Kotagede bisa dijumpai bermukim menjadi penduduk di wilayah Godean, Bantul, Wonosari, Wonosobo, Kebumen, Magelang, Kemiri, Kutoarjo, Salaman. Sampai di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Semarang, Cirebon, Tangerang, Banyuwangi, Bali, Lampung, Lombok, Papua, Palembang, Pontianak, Samarinda, Pangkalanbun, Banjarmasin, dan Timor Timur (masa itu). Di Jakarta, sekitar tahun 1977-1997, orang-orang dari Kotagede berhimpun dalam Kerukunan Keluarga Kotagede Jakarta yang diketuai Drs. H. As’ari Jak’far yang bertempat tinggal di Cempaka Putih. Pak As’ari berasal dari kampung Sayangan, Kotagede.

Bahkan di manca negara, ada orang-orang Kotagede yang telah menjadi WNA di Australia, Belanda, Prancis, Jepang, Iran, Libya, Mesir, Arab Saudi, dan Malaysia. Sampai di pelosok yang tidak terbayangkan, bisa ditemui orang Kotagede. Pernah ada orang dari kampung Pondongan, ketika berdagang menemukan orang Kotagede tinggal di lereng Gunung Kelud, Jawa Timur. Sudaryanto dari kampung Patalan Selatan, tinggal dan punya restoran ternama di San Fransisco, dan hal ini pernah diulas VOA Indonesia. Juga, Ahmad Chanifudin dari Rejowinangun kerja di Dhaka, Bangladesh. Demikian pula Djalal Muksin bin Mukmin orang dari kampung Boharen semula di sekolahkan orang tuanya ke Belanda, lalu menikah dan bertempat tinggal di sana hingga meninggalnya.

Kemudian, Darwis Khudori dari kampung Selokraman sudah 30 tahun lebih bermukim di Prancis. Bermula pada tahun 1984, Darwis Khudori lulus dari Jurusan Arsitektur, UGM. Pada tahun 1987-1989, ia memperoleh program beasiswa untuk memperdalam studi di bidang permukiman dan perkotaan di Belanda. Selanjutnya, mengambil program master lagi hingga doktoral di Universitas Sorbonne, Prancis, yang memberinya gelar doktor pada tahun 1999 dengan desertasi tentang transformasi sosial dan arsitektural di kota Ismailia, Mesir. Menjadi pengajar dan peneliti di Universitas Le Havre di Prancis dalam bidang Bahasa-Bahasa dan Peradaban-Peradaban Timur sejak 1995 hingga sekarang. Saat ini menjadi Direktur Pascasarjana di Universitas dan bidang ilmu yang sama.

Lalu ada juga, M. Bahrun Nawawi, orang dari kampung Nyamplungan, Kotagede. Ia memperoleh program direktur internasional Foster Parent Plant International dan ditempatkan di Leberia selama 5 tahun. Di Leberia, ia bersama istri dan dua orang anaknya. Jadi, hanya ada 4 orang dari Indonesia asal Kotagede yang berada di negara itu. Kedutaan Indonesia tidak ada. Kedutaan Indonesia dirangkap satu duta besar untuk beberapa negara di Afrika yang bertetangga dekat. Baru menjalani 3,5 tahun, di Leberia terjadi kudeta militer diikuti pergolakan politik dua kubu yang bersengketa. Suasana chaos. Semua orang asing keluar dari Liberia. Oleh Foster Parent Plant International, Bahrun sekeluarga dipindah-tempatkan ke Sudan. Dan ada beberapa mahasiswa Indonesia yang belajar di universtias di Sudan. Mereka, para mahasiswa Indonesia itu, sering berkumpul atau lebih tepatnya, bermarkas, di rumah tinggal keluarga M. Bahrun Nawawi. Saat program direktur internasinal selesai, sesungguhnya M. Bahrun Nawawi akan ditempatkan di Filiphina, tetapi kemudian tidak jadi, dan akhirnya ditempatkan di Lombok. Tahun 1998, saat terjadi pergolakan politik di tanah air dengan tuntutan reformasi, M. Bahrun Nawawi sekeluarga pulang ke Kotagede.

Sementara itu, ada juga Pak Lik Kartowiyono, orang dari kampung Pondongan, yang dulu pernah hidup dan tinggal di Libya, sekarang mengelola pondok pesantren di Karangmojo, Gunungkidul. Ada pula perintis Pondok Pesantren Nurul Ummah di kampung Prenggan Kotagede, yakni KH. Ashari Marzuqi, pernah tinggal di Mesir saat menjadi mahasiswa. Tahun 1972, Santosa, orang Bodon berangkat dan tinggal di Iran dan cukup lama menikmati kemakmuran pertambangan minyak di Iran, sampai sekarang entah bagaimana kabarnya. Pernah juga, Mbah Zaini Maklum, orang Prenggan Kotagede yang kerja di kapal dagang internasional dan sering singgah di pelabuhan-pelabuhan kota negara-negara besar dunia mengikuti kapal dagang selama berbulan-bulan. Orang dari kampung Dolahan, Zahron bin Ahmad Wardi, sejak tahun 1980-an bermukim dan bekerja di Australia, dan yang pada tahun 1985 disusul adiknya, Agus Nurdin Haifa, sampai saat ini. Pada dekade sekarang, ada beberapa anak muda dari Kotagede berada di Australia. Ada anaknya Wafiq dari Prenggan Utara, juga anaknya Lusi Margiyanti dari Patalan Utara.

Kenyataan menunjukkan kalau orang Kotagede punya kegemaran dan semangat merantau. Di perantauan orang Kotagede bisa jadi apa saja. Terutama kalau merantau masih di seputar pulau Jawa. Akan nampak terlihat, yang paling gampang ditandai, mereka biasanya bertempat tinggal di dekat pasar sebagai tempat bermukimnya, karena kemampuan naluri dagangnya yang bisa diandalkan. Banyak orang Kotagede mencari peruntungan lain keluar Kotagede, mengembangkan usaha di Batu, Wonogiri, di seputar pasar tentunya. Demikian pula di Wonosari dan Ponjong. Ada dugaan, kegemaran merantau kemungkinan berasal dari karakter yang ditanamkan para leluhurnya dahulu ketika, konon, didatangkan dari desa Selo dekat Grobogan, Purwodadi oleh Ki Gede Pemanahan untuk meramaikan hutan Mentaok yang telah dibuka menjadi permukiman. Kemudian Ki Gede Pemanahan yang berasal dari desa Selo dekat Grobogan membuka pasar agar kedaulatan ekonomi tambah kuat. Ki Gede Pemanahan mendatangkan lagi gelombang kedatangan penduduk untuk meramaikan pasar. Pasar mulai ramai. Banyak pedagang jauh berdatangan menjajal nasib. Kemakmran muncul.

Banyak gelombang kedatangan pendatang untuk menjadi penduduk Kotagede dan ikut menyemarakkan kemakmuran ekonomi Kotagede. Semula mencari mata pencaharian, lantas mengembangkan usaha. Pedagang pendatang masih menggunakan cara bongkar pasang barang dagangan. Kemudian berpikir mencari kemapanan dengan cara sewa tempat pada tanah penduduk. Ketika usaha berkembang, lantas membeli tempat yang disewa. Mulai nyaman bermukim dan bertempat tinggal menjadi penduduk Kotagede dari kelas pendatang baru. Banyak para pendatang berikutnya mengikuti jejak keberhasilan pendahulunya. Begitulah, kedaulatan rakyat akhirnya dalam genggaman Ki Gede Pemanahan setelah sebelumnya telah lebih dahulu memperoleh kedaulatan wilayah berupa hutan Mentaok sebagai hadiah sayembara mampu membunuh Arya Penangsang. Pada gilirannya, Ki Gede Pemanahan memiliki agenda yang digenggam sebagai pewaris keturunan Brawijaya V, raja Majapahit terakhir dari keturunan Getas Pandawa, ingin merintis kembali kejayaan Majapahit di perdikan Mataram.

Tahun 1930-an, ketika muncul kemakmuran ekonomi di poros jalan Malioboro, tidak hanya Cina dan India saja yang mewarnai tetapi juga orang-orang Kotagede dari kelas saudagar berani memasuki geliat kemakmuran Malioboro. Ada beberapa orang Kotagede memiliki tempat usaha dagang di Malioboro. Kebanyakan orang-orang Kotagede memperdagangkan kain batik. Seperti H. Hadjid Muthohar dari Selokraman, H. Zubair bin Muksin dari Boharen. H. Saini dari Jagalan yang memiliki toko batik “Juwita”, serta H. Ismail dari Mranggen memiliki toko batik “Terang Bulan”. Dari keluarga besar Bani Muhammad Radji yang berasal dari keturunan H. Sjihab yakni putra-putrinya H. Hisyam memiliki beberapa toko di Malioboro, seperti: toko Margaria, toko Al Fath, toko Makmur, toko Timur, dan toko Melati.

Pada masyarakat Kotagede sekarang ini, jika dicermati, di sebuah kampung bisa ditemukan asal usul leluhurnya. Penduduk asal Munggi bertetangga dengan mereka yang punya leluhur Purworejo, tetangga lainnya berleluhur Kulonprogo, Karangkajen, Imogiri, Ponjong, Banyumas, dan wilayah lainnya. Kemudian orang Kotagede yang juga mengenal sirkulasi keluar lalu ke dalam ini dialami oleh banyak keluarga besar orang Kotagede. Sebagai contoh seorang individu kalau ditarik ke strukutur atas, akan memiliki 4 simbah dari pihak ayah dan ibu. Diteruskan lagi ke atas akan memiliki 8 simbah. Sehingga seorang individu orang Kotagede akan menjadi anggota trah keluarga besar banyak sekali dari asal usul 8 orang simbahnya. Kemudian yang terjadi, sebuah keluarga dari sempalan trah besar mulai keluar Kotagede mencari peruntungan, bertempat tinggal di kota-kota kabupaten, mengembangkan usaha, yang kelak anak keturunan mereka akan kembali ke Kotagede melalui jalan bersekolah di Jogja, mencari pekerjaan dan perkawinan. Itu yang disebut sirkulasi kependudukan sirkulasi keluar lalu ke dalam.

Salah satu trah leluhur di Kotagede dari Trah Kromoijoyo di kampung Dolahan memiliki 7 orang anak yang menyebar ke berbagai kota kecil tingkat keamatan dan kabupaten. Ada yang di Sambilegi, Imogiri, Ponjong, Ngawi, Kutoarjo, Kemiri, Bagelen, Salaman Kedu, Cilacap, Purbalingga. Anak-anak keturunan mereka kembali memasuki Kotagede melalui perkawinan berdasarkan naluri tradisi Jawa yang biasa disebut “Ngumpulke Balung Pisah”, yakni perkawinan antarsepupu masih tunggal mbah buyut atau mbah canggah. Mereka mengarungi hidup baru memasuki Kotagede, bertempat tinggal secara menetap, menata mata pencaharian baru, mengembangkan usaha, beranak pinak mengembangkan keturunan sebagai orang Kotagede. Itu yang dimaksudkan sirkulasi keluar lalu ke dalam perihal kependudukan. Sebagai salah satu contoh, di Salaman wilayah Kedu, banyak dijumpai orang yang berasal dari Kotagede, anak keturunannya kembali menjadi orang Kotagede melalui perkawinan. Bahkan, di Salaman banyak dijumpai keluarga orang Kotagede bertetangga dekat, sebagaimana di Kotagede juga bertetangga satu deret perkampungan..

Demikian juga tentang ketokohan orang Kotagede. Barangkali ada yang sudah tahu bahwa mantan Bupati Gunungkidul, Ibu Hj. Badingah itu berasal dari Mutihan, masih merupakan kerabatnya pak Marto Kairun dari kampung Bumen Kotagede. Termasuk mantan wakil presiden RI pasangan SBY, Pak Budiono, yang orang Citran, hal itu diketahui ketika berziarah ke makam kakaknya di kuburan Semoyan. Menurut penuturan Satriya Wibowo, bahwa mbah buyut Roy Surya ( mantan mempora ) juga asli dari Kotagede. Prof. Soeyono SPKJ, pemilik RSJ Purinirmala, adalah ayahnya Roy Surya. Dari Kotagede leluhurnya seorang pengusaha batik migrasi ke Tulungagung, Jawa Timur. Makam leluhurnya berada di makam Semoyan yang timur jalan.

Mitsuo Nakamura, peneliti dari Jepang yang pernah meneliti dan menulis buku tentang orang-orang Kotagede, “Bulan Sabit di Balik Pohon Beringin”, mengatakan bahwa, “Globalisasi orang Kotagede berlangsung sejak dulu”. Termasuk diaspora bisnis. Ketika usaha seni kerajinan perak jaya, ada beberapa pengusaha kerajinan perak Kotagede membuka perawakilan cabang di Bali, tidak hanya tokonya tetapi juga pengrajinnya. Demikian pula banyak pengusaha kerajinan perak Kotagede membuka counter di gedung Sarinah Jakarta Pusat. Celakanya, peristiwa Bom Bali I dan Bom Bali II menghancurkan usaha perwakilan cabang di Bali. Semua pulang kembali ke Kotagede.

Namun, pemilik modal selalu mempunyai gagasan rupanya. Kini, pengusaha muda orang Kotagede tertarik pesona baru sebuah tantangan baru bisnis kuliner di luar Kotagede dengan tampilan membangun rumah-rumah tradisional Jawa sebagai daya tarik. Ada yang membuka usaha di Kulonprogo, Panggang, dan Semilir.

* Ketua BPKCB Kotagede Yogyakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *