ARSITEKTUR BANGUNAN JAWA: MELIHAT ULANG TATA RUANG YANG SELARAS DENGAN ALAM HIDUP ORANG JAWA
Kawasan Budaya Karang Kitri menjadi penyokong utama kebudayaan Kalurahan Panggungharjo yang membentang dari utara berupa Panggung Krapyak, kemudian Kampoeng Mataraman, dan paling selatan kawasan Balai Budaya Karang Kitri. Rencana pembangunan kawasan budaya akan terbagi ruang spasial berdasar ruang hidup di perdesaan. Pembangunan balai budaya merupakan program dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai upaya pelestarian, pembinaan, dan pengembangan kekayaan potensi seni budaya.
Dalam sambutannya, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, program Balai Budaya ini tidak sekedar percontohan, namun bisa dijadikan model bagaimana Dana Keistimewaan bisa memberikan nilai baru dan memberikan pemahaman bahwa peradaban manusia menjadi sesuatu yang sangat penting. Di dalam Kawasan ini, Balai Budaya menjadi poros utama untuk mewujudkan konsep kudaya Karang Kitri. Menilik ini, menjadi menarik untuk mengeksplorasi bagaimana tata ruang bangunan Jawa dengan pandangan hidup manusia Jawa.
Mengenai asal-muasal wujud rumah tinggal orang Jawa sampai saat ini masih merupakan hal yang belum jelas karena kurangnya sumber-sumber tertulis pada zaman sebelum ”Indianisasi”. Menurut suatu naskah tentang rumah Jawa koleksi museum pusat Dep. P&K No.Inv.B.G.608 disebutkan bahwa, rumah orang Jawa pada mulanya dibuat dari bahan batu, teknik penyusunannya seperti batu-batu candi. Tetapi bukan berarti rumah orang Jawa meniru bentuk candi. Bahkan beberapa ahli diduga bahwa candi meniru bentuk rumah tertentu pada waktu itu (Hamzuri, tanpa tahun). Namun, dugaan ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut mengingat bangunan candi di Jawa dibuat seiring dengan masuknya agama Hindu dan Buddha ke Jawa dari India, dan seperti diketahui orang India sebagai pembawa ajaran agama Hindu dan Buddha telah mempunyai pengetahuan yang cukup canggih dalam pembuatan bangunan candi di India (Manasara dan Silpasastra). Pada relief candi Borobudur abad VIII yang diteliti oleh Parmono Atmadi, contohnya, ditemui gambaran tentang bangunan rumah konstruksi kayu yang mempunyai bentuk atap pelana, limasan,, dan tajug. Pada relief candi Borobudur tidak ditemui bentuk atap Joglo (Atmadi,1979).
Pengertian rumah bagi orang Jawa dapat ditelusuri dari kosa kata Jawa. Menurut Koentjaraningrat (1984) dan Santosa (2000) kata omah-omah berarti berumah tangga, ngomahake membuat kerasan atau menjinakkan, ngomah-ngomahake menikahkan, pomahan pekarangan rumah, pomah penghuni rumah betah menempati rumahnya. Sebuah rumah tinggal Jawa setidak-tidaknya terdiri dari satu unit dasar yaitu omah yang terdiri dari dua bagian, bagian dalam terdiri dari deretan sentong tengah, sentong kiri, sentong kanan dan ruang terbuka memanjang di depan deretan sentong yang disebut dalem, sedangkan bagian luar disebut emperan.
Konsep ruang dalam rumah tinggal menurut tradisi arsitektur Jawa pada kenyataannya berbeda dengan konsep ruang menurut tradisi Barat. Tidak ada sinonim kata ruang dalam bahasa Jawa, yang mendekati adalah Nggon, kata kerjanya menjadi Manggon dan Panggonan berarti tempat atau Place. Jadi bagi orang Jawa, lebih tepat pengertian tempat dari pada ruang (Tjahjono,1989, Setiawan,1991). Rumah tinggal bagi orang Jawa dengan demikian adalah tempat atau tatanan tempat, sementara konsep ruang geometris tidak relevan dalam pengertian rumah tinggal Jawa. Pengertian tempat lebih lanjut dapat dilihat pada bagian-bagian rumah tinggal orang Jawa. Pada rumah induk (omah) istilah dalem dapat diartikan sebagai keakuan orang Jawa karena kata dalem adalah kata ganti orang pertama (aku) dalam bahasa Jawa halus. Dasar keakuan dalam pandangan dunia Jawa terletak pada kesatuan dengan Illahi yang diupayakan sepanjang hidupnya dalam mencari sangkan paraning dumadi dengan selalu memperdalam rasa yaitu suatu pengertian tentang asal dan tujuan sebagai mahluk (Magnis Suseno,1984). Sentong tengah yang terletak dibagian Omah merupakan tempat bagi pemilik rumah untuk berhubungan dan menyatu dengan Illahi, sedangkan Pendapa merupakan sarana untuk berkomunikasi dengan sesama manusianya (Priyotomo,1984).
Demikianlah pengertian ruang dalam rumah tinggal Jawa ini mencakup aspek tempat, waktu dan, ritual. Rumah tinggal merupakan tempat menyatunya jagad-cilik (micro cosmos), yakni manusia Jawa, dengan jagad-gede (macro-cosmos), yaitu alam semesta dan kekuatan gaib yang menguasainya. Bagi orang Jawa, rumah tinggalnya merupakan poros dunia (axis-mundi) dan gambaran dunia atau imago-mundi (Eliade,1957) dan memenuhi aspek kosmos dan pusat (Tjahjono,1989)
Arsitektur tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan bagian dari arsitektur Indonesia hingga kini masih dijunjung tinggi oleh pendukungnya, yaitu orang Jawa. Arsitektur tradisional Daerah lstimewa Yogyakarta tersebut pengaruhnya dirasakan cukup luas di dalam masyarakat di daerah, dan oleh karena itu, diakui bahwa hal itu nilainya cukup tinggi. Bila kita lihat secara keseluruhan, misalnya pada bentuk rumah “joglo” yang banyak dibangun sekarang ini, sudah tidak lengkap dibanding dengan bangunan “joglo” yang dibuat dahulu. Pada dasarnya bangunan bentuk “joglo” terdapat 3 bagian pokok ruangan, yaitu pendapa. pringgitan, dan “senthong” serta dalem. Sedang di sekeliling bangunan itu ada bangunan tempat tinggal yang disebut “gandhok”. Tetapi sekarang, “gandhok” itu jarang dibuat.
Rumah sebagai tempat perlindungan bagi keluarga haruslah merupakan tempat yang dapat memberikan keselamatan. Oleh karena itu, ruang-ruang yang ada pada sebuah rumah juga harus selaras dengan lingkungan yang dipercaya ada dalam kehidupan masyarakat Jawa. Lingkungan tersebut terdiri dari lingkungan adikodrati, lingkungan alam, dan lingkungan masyarakat.
Panitia Jangongan:
Pemerintah Kalurahan Panggungharjo
Jl. KH. Ali Maksum, Panggungharjo, Sewon, Bantul