Orang Kalang dan Prespektif Memori Kolektif Masyarakat Kotagede

Menyangga Keberagaman, Keselarasan, dan Kelestarian

Orang Kalang dan Prespektif Memori Kolektif Masyarakat Kotagede

Oleh: Erwito Wibowo

Foto: Rumah Kalang peninggalan Hj. Noeriyah Subron binti Prawiro Suwarno di Jl. Tegalgendu No. 23, Kotagede. Kepemilikan terakhir dimiliki oleh Umar Santosa, pemilik Hotel Mutiara di Yogyakarta, yang selanjutnya dibeli oleh pemerintah propinsi DIY melalui Dinas Kebudayaan Propinsi DIY. Saat ini, oleh Sub Bidang Pemanfaatan dan Optimalisasi Bangunan dipergunakan sebagai Intro Museum Kotagede.

 

Pendahuluan

Dalam kehidupan, manusia senantiasa berusaha untuk menemukan cara mengidentifikasi diri mereka. Salah satu caranya melalui proses interaksi mereka dengan lingkungan binaan. Interaksi dengan bangunan sebagai salah satu komponen dalam konteks kawasan urban seperti di Kotagede, dengan manusia penghuninya menciptakan narasi-narasi mengenai siapa diri mereka di dalam konteks dahulu – sekarang – masa depan.

 

Kotagede merupakan bekas ibukota Mataram Islam yang ditinggalkan penguasa serta meninggalkan masyarakat yang menekuni beraneka ragam bidang usaha. Kotagede yang ditinggalkan tumbuh menjadi kota wiraswasta dengan komposisi penduduk terdiri dari juragan, pengrajin, buruh, bakul serta abdi dalem yang merawat dan memelihara serta melayani para peziarah peninggalan Mataram. Namun, Kotagede setelah tidak menjadi ibukota Mataram, merosot menjadi suatu wilayah setingkat kapanewon, sekarang kemantren, di antara 14 kemantren di Kotamadya Kota Yogyakarta.

Kemudian, secara umum diketahui bahwa Kotagede merupakan sebuah kota warisan peninggalan kerajaan Mataram Islam yang terletak di bagian tenggara Kota Yogyakarta. Seiring dengan perkembangan zaman, Kotagede mulai dikenal dengan berbagai macam identitas, seperti Kotagede sebagai tempat tumbuh kembang industri peralatan rumah tangga serta peralatan usaha lawe dan batik, yang peralatannya banyak menggunakan bahan dari logam tembaga. Profesi pekerjaan tersebut disebut “sayang”, sehingga menghasilkan sentra industri di suatu kampung dalam toponimi yang disebut kampung Sayangan, terletak di barat pasar Kotagede. Sebagai tempat usaha penghasil pencelupan benang lawe untuk memasok home industri usaha tenun, Kotagede dikenal juga sebagai centra home industri tenun. Kotagede dikenal pula sebagai tempat bermukim para juragan kain mori sebagai pemasok home industri batik tulis maupun cap, menghasilkan sebutan sebagai centra industri batik. Oleh karena itu, Kotagede banyak menghasilkan pedagang kain batik yang ulet dan tangguh, yang biasa disebut bakul wade. Kotagede juga dikenal sebagai tempat pengrajin blek, yang menghasilkan peralatan rumah tangga, sampai memiliki koperasi KPBK (Koperasi Pengusaha Blek Kotagede). Dan sebagai kota penghasil kerajinan perak, Kotagede memiliki koperasi juga yang bernama KP3Y ( Koperasi Produksi Pengusaha Perak Yogyakarta). Kotagede dikenal juga sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya juragan konveksi pakaian jadi. Kotagede dikenal pula sebagai tempat tumbuhnya pergerakan Muhammadiyah.

 

Peninggalan Rumah Kalang

Akan tetapi, di antara semua identitas yang berhubungan dengan Kotagede, yang paling menarik adalah Kotagede sebagai bukti kejayaan budaya masyarakat Jawa-Kotagede pada masa lampau, dengan berbagai peninggalan, seperti rumah-rumah tradisional yang membentuk tata ruang lingkungan khas, hingga membentuk karakter kawasan binaan di masa lalu.

Selain rumah tradisional Jawa yang berupa Joglo, pendopo, limasan dan kampung, ada lagi sebutan rumah kalang, yang maknanya rumah milik orang kalang yang berbeda dengan rumah kebanyakan masyarakat Kotagede lainnya. Orang Kalang dan Rumah Kalang (di masa lalu) adalah komunitas yang hidup terpisah dari komunitas masyarakat Kotagede.  Komunitas Kalang berada di barat jembatan sungai Gajahwong di wilayah Tegalgendu. Komunitas Orang Kalang yang berada di wilayah Tegalgendu berasal dari Gombong, Jawa Tengah. Hal tersebut berdasarkan hasil wawancara antara Glaude Gulliot seorang sejarawan dari Prancis yang melakukan wawancara terhadap keluarga Kalang, Sumarman dan Sumarno, yang merupakan cucu dari Ki Prawiro Suwarno alias Tembong, raja berlian dari Kotagede. Rumah Tembong berada di barat jembatan Tegalgendu yang sekarang dimiliki (dibeli) keluarga Ansor Silver.

 

Awal Mula Orang Kalang di Kotagede

Semula, tersebutlah nama Mertosetiko generasi Kalang dari Banyumas yang ikut berperan aktif ketika pecah perang Diponegoro melawan Belanda yang biasa disebut Perang Jawa 1825-1830. Leluhur Mertosetiko pun pernah dilibatkan Sultan Agung sewaktu Mataram menyerang Batavia. Karena akfif terlibat dalam peperangan besar, kedudukan Mertosetiko menjadi terpandang, sehingga kemudian salah satu anaknya yang bernama Brojosemito diangkat oleh kraton Kasultanan Yogyakarta sebagai demang, pada sekitar tahun 1850. Salah satu keturunan Brojosemito yang bernama Mertowongso dari Gombong Jawa Tengah, sudah memiliki perusahaan dagang dan pegadaian. Memperhatikan leluhurnya memiliki kedekatan dengan kraton Kasultanan Yogyakarta, Mertowongso ingin mengembangkan usahanya di Yogyakarta, lalu dipilihlah wilayah pinggiran Kotagede yang kemudian dikenal namanya Tegalgendu. Pada abad 18, Mertowongso menempati wilayah Tegalgendu, Kotagede. Ia memiliki anak bernama Mulyosuwarno. Karena leluhurnya memiliki kedekatan dengan kerabat Kasultanan Yogyakarta, Mulyosuwarno dengan mudahnya menjalin hubungan dengan kerabat keraton, dalam hal menjual jasa pengerjaan kerajinan emas dan perak untuk perhiasan. Ketika bertandang ke keraton, Mulyosuwarno mengajak anaknya yang masih kanak-kanak, bernama Prawiro Suwarno. Ditinggal orang tuanya berembuk pekerjaan emas dan perak, Prawiro Suwarno kecil bermain adu gemak dengan pangeran kecil yang kelak menjadi Sultan HB VIII.

Keluarga Mulyosuwarno ini menjadi semakin kaya raya ketika mendapat hak mengelola rumah gadai, hingga berjumlah 11 yang pengelolaannya dipegang oleh kerabat-kerabatnya. Pelanggan terbesarnya keluarga ningrat, sehingga perusahaan pegadaiannya mirip sebuah bank swasta yang sukses. Di samping itu, usaha dagang lainnya yakni emas dan berlian juga berkembang sama baiknya sehingga keluarga ini menjadi semakin kaya dan makin terpandang. Van Mook dalam bukunya yang berjudul: “Kutha Gedhe” terbitan tahun 1926, bahwa pada saat itu Kotagede menjadi pusat perdagangan yang terbesar di Hindia-Belanda. Pusat pemukiman Mulyosuwarno berada di sebelah barat jembatan Tegalgendu Kotagede, dengan gaya bangunan yang khas Eropa yang didominasi mosaik dan tegel berhiaskan motif ornamen yang mewah. Mulyosuwarno bahkan memiliki pembantu wanita dari keturunan Tionghoa dan Eropa, sebuah gengsi yang sangat tinggi.

Prawiro Suwarno alias Tembong, anak dari Mulyosuwarno, memperoleh hak monopoli dari pemerintah Hindia-Belanda dalam hal perdagangan candu. Semula kartel candu dikelola oleh etnis China, kemudian diambil alih oleh pemerintah Hindia-Belanda lantas hak pengelolaan peredaran perdagangan candu itu diberikan kepada Prawiro Suwarno. Waktu itu, perdagangan candu dikenakan “cathu”, dibatasi sehingga konsumen candu tidak sampai menderita nestapa.

Ketika Indonesia merdeka pada 1945, dan Belanda kembali ke Indonesia pada 1948 dengan membonceng sekutu, pemerintahan Republik Indonesia yang dipimpin Soekarno untuk sementara pindah ke Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersedia memberikan perlindungan dan dukungan dana kepada pemerintah untuk membiayai kementerian-kementeriannya. Seperti biasanya, dukungan dana datang dari keluarga Kalang Kotagede. Melalui anaknya Prawiro Suwarno yang bernama Noeriyah Subron, keluarga kalang menyumbang 6 juta golden Belanda. Uang sebesar itu dibawa menggunakan gerobak dari Tegalgendu Kotagede ke Gedung Agung Yogyakarta. Namun, pasca kemerdekaan, keluarga Kalang Kotagede menjadi terpisah-pisah, sehingga tidak sekuat dulu lagi. Kerugian akibat perang, ditambah lagi dengan pembauran wilayah Yogyakarta dengan Republik Indonesia yang antara lain berdampak pada nasionalisasi rumah-rumah gadai, mendorong keluarga Kalang mengubah haluan usaha dagangnya. Bidang usaha yang mereka geluti setelah itu ialah bidang wisata, khususnya perhotelan dan biro perjalanan wisata, serta angkutan termasuk perusahaan otobus.

Banyak pula keluarga Kalang yang keluar dari Kotagede, kebanyakan memilih ke kota Surakarta. Di Tegalgendu Kotagede, keluarga Kalang banyak meninggalkan rumah-rumah Kalang yang indah dan menakjubkan.

Namun, posisi orang dan rumah Kalang berada di luar momori kolektif masyarakat Kotagede di masa lalu yang kebanyakan bermukim di seputar pasar Kotagede serta wilayah penyangga sebagai pusat geografi kota, seperti kawasan Jagalan, Prenggan, Purbayan, Basen, Gedongan, Jogoragan, Mutihan, Singosaren. Mereka menganggap orang Kalang bukan bagian dari Masyarakat Kotagede.

Dengan latar belakang tersebut, ditambah dengan lokasi tempat tinggal di barat sungai Gajahwong, termasuk kondisi reruntuhan bangunan merupakan bekas rumah mewah, mengakibatkan proses pelestarian rumah Kalang menjadi terkendala dari sisi ketersediaan pembiayaan. Sehingga kondisi terkini, justru pemilik baru yang melakukan pembelian terhadap rumah-rumah Kalang di Tegalgendu Kotagede yang tertarik melakukan perlindungan dan mereka melihat rumah Kalang sebagai aset yang bisa dipergunakan peruntukannya untuk usaha dengan mengambil suasana trend usaha sekarang. Dengan begitu, justru pelestarian dan perlindungan rumah Kalang di Tegalgendu Kotagede berhasil ketika orang yang memiliki uang berminat memanfaatkan untuk kebutuhan usaha trend sekarang, serta dilengkapi dengan kebijakan legal yang kuat dari otoritas yang menangani pelestarian dan perlindungan kawasan pusaka Kotagede, sehingga kelestarian dari rumah Kalang sebagai aset kultural Kotagede tetap terjaga.

Kondisi Kotagede dengan asset berupa sebaran rumah Kalang di Tegalgendu Kotagede yang di masa lalu merupakan kawasan pinggiran Kotagede, karena terjadi pergeseran perkembangan, wilayah Tegalgendu menjadi kawasan perkotaan yang akan selalu berubah, serta turut berpengaruh dalam pembentukan memori dan identitas tertentu. Dalam hal ini, perubahan terjadi karena adanya proses konstruksi baru dari suatu objek rumah Kalang yang masuk ke dalam lingkungan binaan memegang peranan penting, karena melalui proses ini terjadi pembentukan dan penataan kembali memori seseorang dari warga masyarakat Kotagede pada suatu tempat. Bangunan rumah Kalang yang banyak berubah, atau sudah hilang, atau tergantikan, bisa menghilangkan memori seseorang atau justru menambahkan memori baru bagi seseorang terhadap suatu objek tempat tertentu.

 

Memori Kolektif Masyarakat Kotagede Dan Upaya Pelestarian

Untuk dapat memahami keterhubungan antara memori dengan identitas lingkungan yang membentuk karakter kawasan binaan, perlu pemahaman tentang bagaimana manusia dapat mengingat dan mengidentifikasi diri mereka. Kemampuan untuk mengingat yang dimiliki oleh setiap manusia tidak hanya tercipta melalui hal yang dapat dilihat saja, tetapi juga melalui hal-hal yang tidak ada. Memori adalah residu dari kegiatan di masa lalu yang masih aktif di dalam pikiran kita. Secara singkat dapat digambarkan sebagai proses rekoleksi dari apa yang terjadi di masa lalu. Seringkali memori dikaitkan dengan pengalaman yang dialami oleh sekelompok orang di dalam mengenali dan mengidentifikasi diri mereka di dalam suatu lingkungan dan kawasan binaan. Hal ini dikenal sebagai memori kolektif.

Dalam pembentukan sejarah kota, seperti Kotagede, memori kolektif diungkapkan sebagai hasil identifikasi dan pemaknaan suatu kelompok masyarakat terhadap tempat di mana mereka tinggal dan kemudian diteruskan secara terus-menerus kepada generasi berikutnya. Memori kolektif dapat ditemukan di dalam setiap jejak dan tanda perubahan kehidupan yang telah ditinggalkan oleh masyarakat, diekspresikan melalui narasi, cerita rakyat atau mitos, slogan, foto-foto, dan bangunan. Termasuk memori narasi tentang bagaimana rumah Kalang di kawasan Tegalgendu telah berubah kepemilikannya melalui proses jual beli yang sah.

Berbagai macam cerita dan mitos-mitos  tentang orang Kalang telah beredar luas di tengah masyarakat dari suatu periode zaman dahulu kala yang diceritakan secara turun-temurun. Dari proses inilah terbentuk suatu memori yang dianggap oleh masyarakat Kotagede sebagai memori kolektif.

Masyarakat Kotagede secara umum merasa diri mereka sebagai suatu entitas karena beberapa hal, yakni: (1) Kesamaan letak geografi, tempat yang ditinggali merupakan bekas ibukota Mataram Islam, (2) Kesamaan agama yang dipeluk yang mayoritas Islam, (3) Kesamaan pertalian darah, banyak keluarga saling berhubungan keluarga, (4) Kesamaan jenis pekerjaan, dulu kebanyakan hidup bermata pencaharian sebagai pengrajin logam, (5) Kesamaan organisasi massa tempat untuk mengaktualisasikan diri, kebanyakan memilih persyarikatan Muhammadiyah, (6) Kesamaan etnis suku Jawa.

Berbagai narasi yang beredar di Kotagede, tersirat bahwa masyarakat Kotagede tidak melihat orang Kalang sebagai bagian dari entitas masyarakat. Sebagai contoh dalam hal kesamaan pertalian darah, masyarakat Kotagede memandang masyarakat Kalang tidak sama dengan mereka. Ditambah pula, masyarakat Kalang melakukan apa yang disebut sebagai endogami atau sikap dan tindakan melakukan perkawinan tertutup, di antara kalangan mereka sendiri. Termasuk dalam kesamaan agama. Meskipun orang Kalang menganut agama Islam sebagaimana umumnya masyarakat Kotagede, tetapi masyarakat Kalang masih melakukan ritual leluhur mereka seperti tradisi Kalang Obong, yang tidak dilakukan oleh masyarakat Kotagede. Hal itulah yang menjadikannya berbeda dengan masyarakat Kotagede.

Dalam hal membangun rumah, masyarakat Kalang di Kotagede cenderung mengadaptasi gaya arsitektur Mediterania, seperti barok, neo klasik, berdinding batu bata dengan ornamen-ornamen seperti besi tempa, kaca patri, kubah lengkung. Arsitektur Rumah Kalang menjadi berbeda pilihannya dengan rumah masyarakat Kotagede pada umumnya, yang banyak menggunakan kayu, bangunannya berbentuk joglo, pendopo, limasan dan kampung. Orang Kalang dikarenakan memiliki uang berlimpah, melakukan kombinasi di dalamnya joglo dan pendopo, fasade luarnya berbentuk gaya Mediterania.

Usaha pelestarian yang dilakukan di dalam Kawasan Pusaka Kotagede tampaknya belum memiliki suatu rencana komprehensif yang mencakup setiap aspek pusaka yang terdapat di dalam kawasan. Proses pendampingan yang dilakukan perlu lebih sensitif melihat berbagai aspek sosio-kultural yang ada di dalam kawasan. Usaha konservasi harus jeli memposisikan diri dalam melihat konteks masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Tantangan di dalam usaha pelestarian saat ini yaitu tentang bagaimana menangani berbagai macam bentuk hubungan makna yang tercipta antara masyarakat dengan tempat, melalui pengalaman hidup mereka dan memori kolektif yang terbentuk dari pengalaman tersebut. Dari berbagai memori yang membentuk masa kini, masih saja terdapat kemungkinan bahwa usaha pelestarian dapat terpengaruh menjadi sarana kepentingan bagi beberapa kelompok masyarakat tertentu.

Usaha pelestarian yang konvensional mempunyai kecenderungan untuk berpihak kepada kelompok masyarakat yang dominan sehingga terlihat mengesampingkan objek-objek dan tempat yang memiliki makna bagi kelompok-kelompok minoritas. Usaha konservasi hanya melihat objek-objek yang terlihat signifikan. Kompleksitas dari berbagai kelompok dan kepentingan masyarakat di dalam kawasan pelestarian membutuhkan suatu strategi yang melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif dalam memberikan kontribusinya bagi usaha pelestarian dan berusaha meyakinkan masyarakat bahwa usaha pelestarian harus melihat konteks masa lalu, masa kini, dan masa depan.

 

Memori Kolektif Sebagai Studi Kasus

Untuk mendukung strategi yang melibatkan partisipasi masyarakat ini, dibutuhkan proses pengumpulan informasi dari masyarakat. Di sini memori kolektif memegang peranan penting, karena yang diingat masyarakat tentang suatu tempat memberikan informasi yang lebih signifikan tentang objek-objek yang diinginkan oleh masyarakat untuk dilestarikan. Berbagai studi memperlihatkan adanya keterkaitan antara kelas sosial, gender, dan suku bangsa di dalam pembentukan memori kolektif. Karena perbedaan kepentingan antar kelompok-kelompok masyarakat di dalam satu wilayah. Hal-hal seperti ini akhirnya akan memengaruhi identitas yang ingin tetap dipertahankan dan diakui sebagai suatu identitas kolektif masyarakat.

Dalam studi kasus di Kotagede, proses pelestarian melalui pendekatan partisipasi masyarakat, tampaknya akan memiliki persoalan, terutama yang berkaitan dengan pelestarian objek budaya Kalang yakni Rumah Kalang, dikarenakan menyangkut anggaran yang besar dan yang memperoleh keuntungan pemilik rumah kalang sekarang. Opini masyarakat yang tercipta melalui memori kolektif masyarakat Kotagede mengenai kepemilikan aset Rumah Kalang, dapat menghambat proses perlindungan dan pelestarian.

Opini masyarakat Kotagede secara umum bahwa komunitas Kalang merupakan kaum orang berada (kaya) sehingga (masih dianggap) memiliki kemampuan finansial yang kuat untuk memperbaiki Rumah Kalang yang rusak atau terbengkalai. Bisa jadi, ini merupakan opini yang salah, karena ada beberapa Rumah Kalang yang terlihat teronggok, terbengkalai, rusak, bahkan ada yang terjual oleh pemiliknya dalam keadaan rusak parah. Ketika terjadi kepemilikan baru, oleh pemiliknya direstorasi secara luar biasa. Namun, bisa juga terjadi kesalahan, apabila pembeli Rumah Kalang sebagai pemilik baru, kurang paham mengenai pentingnya perlindungan dan pelestarian Rumah Kalang di kawasan Tegalgendu Kotagede.

Bisa saja terjadi, hilangnya Rumah Kalang di Tegalgendu Kotagede dapat berdampak pada hilangnya memori kolektif akan keberadaan jejak orang-orang Kalang. Dan yang lebih penting, kemungkinan hilangnya memori akan kejayaan Kotagede sebagai kota besar Jawa yang multikultural di pedalaman Jawa selatan. Tanpa adanya pemahaman yang lebih mendalam terhadap konteks kesejarahan ini, terutama bahwa lingkungan binaan sangat berkaitan dengan memori dan identitas pribadi maupun kolektif, maka hambatan proses rekonstruksi Rumah Kalang, dampak pelapukan selama menjelajah usia, kemungkinan dapat berdampak kepada hilangnya memori sejarah dan identitas Kotagede yang lebih kaya. Rumah Kalang mewakili kesuksesan dan kejayaan Kotagede di masa lampau. Rumah Kalang juga merupakan bukti dari masa lalu Kotagede yang multikultural. Rumah Kalang tersebut memberikan wacana baru dalam konteks sosial budaya masyarakat Kotagede.

 

Penutup

Perlu pendampingan dalam usaha perlindungan dan pelestarian untuk menjembatani hal-hal yang berkaitan dengan memori kolektif masyarakat Kotagede terhadap Rumah Kalang. Perlunya membangun kesadaran dan pengertian kepada masyarakat luas, akan pentingnya perlindungan dan pelestarian terhadap Rumah Kalang sebagai suatu bagian yang turut membentuk identitas kawasan pusaka Kotagede secara keseluruhan. Pada konteks perlindungan dan pelestarian, kita akan secara sadar dihadapkan pada pilihan tentang apa yang akan diingat dan apa yang akan dilupakan. Pemilihan dan penilaian yang seksama terhadap objek konservasi memegang peranan penting. Atau akibatnya, bisa jadi hanya memori fana. Manipulasi terhadap memori kolektif ini akan menutupi karakter dan identitas, menafikan faktor sejarah yang signifikan dan kekayaan jejak sejarah Kotagede sebagai kawasan pusaka.

Usaha pelestarian harus mampu memposisikan diri secara proporsional dan melihat Kotagede sebagai suatu kesatuan entitas yang utuh, yang terbentuk dari kekayaan budaya masyarakat dan dari memori-memori yang termanifestasi di dalam bentuk fisik yang terdapat di dalam lingkungan binaan. Rumah Kalang merupakan salah satu manifestasi memori terhadap budaya Kalang dan terhadap beberapa peristiwa yang berkaitan dengan orang Kalang yang patut memperoleh perhatian.

 

Kotagede, 13 April 2024

 

Erwito Wibowo

Ketua Badan Pengelola Kawasan Cagar Budaya Kotagede periode 2017-2023.

Sumber Referensi: “Kisah Raja Berlian Dari Kotagede”, Najib Kertapati, majalah Sarinah, Jakarta, 1987

Saya (penulis) terlibat sebagai narasumber lokal, mendampingi mahasiswa magister rancang kota pada Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung, 2012, menghasilkan laporan tertulis, berjudul: “Kotagede Revisited” Sebuah Kajian Pelestarian Kota Berbasis Partisipasi.

“Kutha Gedhe”, Van Mook, 1926.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *