Lurah Yang “mbedani” dari Kebonharjo, Samigaluh

Menyangga Keberagaman, Keselarasan, dan Kelestarian

Lurah Yang “mbedani” dari Kebonharjo, Samigaluh

 

Rohmad Ahmadi

Rohmad Ahmadi adalah sosok lurah Desa Kebonharjo, Samigaluh, Kulon Progo.  Lurah ini “berbeda” dengan lurah-lurah yang lain, karena cara pandangnya dalam mengelola tata kelola desa yang khas. Ia menggali kembali spirit budaya sebagai pendekatan dalam mengelola desa.  Budaya menjadi kekayaan  dan sumber pengetahuan lokal.  Desa Kebonharjo yang terletak di kawasan bukit Menoreh adalah desa lama yang dalam sejarah memiliki peran penting.

Dalam perang Diponegara, Menoreh menjadi ruang pertahanan dari gempuran kolonial Belanda dan krooni-kroninya.  Hal ini masuk akal karena perbukitan Menoreh memiliki tata geografis yang  mendukung untuk membangun strategi perlawanan.  Demikian halnya di masa perang revolusi kemerdekaan, perbukitan Menoreh menjadi tempat berlindung sekaligus tempat membangun perlawanan terhadap tentara Belanda.  Jejak historis pentingnya perbukitan Menoreh tersebut terekam dalam buku karya TB.  Simatupang berjudul Laporan dari Banaran: Kisah Pengalaman Seorang Prajurit Selama Perang Kemerdekaan (1960).

Desa Kebonharjo terletak bersebelahan dengan Banaran, tempat para pejuang republik membangun pertahanan dari musuh.  Desa Kebonharjo merupakan desa yang tumbuh di sepanjang aliran sungai yang terus mengalir. Letaknya yang strategis tersebut menjadikan Kebonharjo desa yang subur meski berada di  lokasi terpencil. Peninggalan sejarah kuno juga menjadi tanda kehidupan masyarakat Kebonharjo yang sudah ada sejak zaman Mataram Kuno.  Di sebuah dusun Pringtali terdapat artefak candi yang dikenal dengan Candi Pringtali. Penanda peradaban pertanian tumbuh di Kebonharjo yang memiliki potensi mata air.

Lurah Kebonharjo, Rohmad Ahmadi, menyadari potensi warisan kulltural tersebut.  Ia sebagai orang lokal yang telah mengalami “pencerahan” berkat pendidikan yang diperoleh, mencoba memperkuat keyakinan dan menggali nilai-nilai budaya lokal untuk membangun desa.  Ia memelopori menghidupkan kembali pengetahuan tradisi budaya merti desa dan warisan kultural lain sebagai pendekatan dalam merancang perencanaan pembangunan.

Pendekatan budaya dalam konteks perkembangan terkini merupakan tantangan yang tidak mudah.  Masyarakat Kebonharjo telah mengalami modernisasi sebagaimana desa-desa lain dengan pengaruh kuat dari model pembangunan yang sentralistik, gaya pemerintahan administratif terpusat model kebijakan top down (dari atas ke bawah).  Secara sosial politik Desa Kebonharjo juga tumbuh dalam keragaman agama yang kuat.

Kebonharjo berbatasan dengan wilayah Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Purworejo yang mendapat banyak pengaruh keagamaan Kyai Sadrach. Peninggalan jejak Kyai Sadrach, tokoh kharismatis yang mengembangkan ajaran Kristen dalam aras budaya Jawa adalah tumbuhnya  beberapa denominasi Kristen dan Katholik di kawasan tersebut di tengah permukiman muslim, yang juga memiliki beragam afiliasi organisasi seperti Nahdratul Ulama, Muhammadiyah, dan Jemaah LDII. Hal ini merupakan potensi konflik yang mudah dipolitisasi untuk kepentingan tertentu apabila jati diri budaya desa tidak dibangun dan dilestarikan.

Pendekatan kebudayaan yang dihidupkan kembali dengan cara pandang baru pada titik tertentu menciptakan ruang komunikasi berbagai komunitas yang berbeda.  Bahasa kebudayaan menjadi jembatan bagi komunikasi ragam  kepentingan dan perbedaan sosial dan politik yang sekarang ini menjadi demikian dominan dalam keseharian hidup masyarakat yang semakin seragam “seleranya” dalam riuh globalisasi.

Melalui bahasa budaya, seperti menghidupkan kembali tradisi merti desa dan merti dusun yang digerakkan dengan melibatkan partisipasi berbagai kalangan, perempuan, dan para kamituwa desa yang memiliki pengetahuan untuk menghidupkan kembali semangat “nguri-uri” budaya leluhur.  Mulai dari persiapan uba rampe (bahan ritual) yang khas dan unik dari  Kebonharjo sebagai simbolisasi kekayaan lokal, juga penyelenggaraan karnaval dari desa menuju tempat-tempat yang menjadi cikal-bakal desa.  Proses persiapan ini menjadi ruang demokrasi khas kampung yang melibatkan partisipasi dari anak-anak  hingga orang dewasa.

Salah satu acara penting yang dipandang sebagai bagian dari perayaan ucapan syukur bagi warga desa adalah adanya tarian tledhek (tayub) yang dipercaya sebagai bentuk dari simbolisasi ungkapan syukur yang  melambangkan persembahan wulu wetu kepada Sang Pencipta. Dalam proses ini, terdapat bagian yang disebut sawang gati, yaitu sebuah media yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menyampaikan permohonan, doa, dan harapan melalui secarik kertas yang disampaikan kepada para penari dan pesinden untuk disampaikan di hadapan publik.  Proses ini juga merupakan bagian penting yang akan ditangkap oleh pemangku kepentingan sebagai bentuk dari penjaringan aspirasi melalui media budaya.

Sosok lurah Ahmadi  menjadi vital sebagai pelopor dalam proses membangkitkan kembali bahasa budaya yang dapat menghubungkan perbedaan yang ada dalam satu wadah kebudayaan tersebut. Budaya adalah jiwa dari komunitas desa. Melalui kebudayaan sesungguhnya ada proses yang disebut “urip urup madhangi”. Budaya itu semestinya adalah sebuah dinamika yang mampu menghidupi, menginspirasi, dan menerangi berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat.

Budaya warisan leluhur telah mengajarkan banyak hal seperti pengetahuan bagaimana mencegah (mitigasi) kebencaanaan (banjir, longsor, dan penyakit). Pengetahuan lokal Kebonharjo dalam mengatasi bencana dengan menjaga tradisi yang dikembangkan dengan dukungan dari Universitas Kristen Duta Wacana mendapatkan pengahargaan dari Pemerintah Jepang untuk mempresentasikan pengetahuan lokalnya dalam sebuah seminar Internasional.

Kemampuan mengembangkan potensi pengetahuan lokal untuk pembangunan desa  menjadikan Kebonharjo menjadi ruang pembelajaran berbagai mitra lembaga Perguruan Tinggi dan organisasi masyarakat sipil untuk belajar dari tata kelola desa, seperti UGM, STIPER, Atmajaya, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, UNY, Kali Jawi, Arkom, dan lainnya.  Sebagai bagian dari prestasi yang diperoleh pada tahun 2020 adalah menjadi Juara I Tata Kelola Transpransi Administrasi Desa di tingkat Kecamatan Samigaluh, dan Juara III di tingkat Kabupaten Kulon Progo. Sebagai sebuah refleksi, pendekatan budaya dalam tata kelola desa tersebut disusun dalam sebuah buku berjudul “Ngrekso Kebonharjo Budaya Membangun Peradaban Desa” (2020).

Lurah Rohmad Ahmadi yang sehari-hari lebih akrab dipanggil Lilik adalah orang muda asli kelahiran Keboharjo yang telah mengalami transformasi budaya. Sebelum kembali ke Desa menjadi lurah, Lilik aktif di berbagai lembaga pemberdayaan masyakarat sipil, yakni Urban Poor Consortium (UPC) yang melakukan pendampingan masyarakat miskin perkotaan, kemudian aktif juga di Arkom Jogja (Arsitek Komunitas) yang fokus pada pengembangan mitigasi, rehabiltasi dan rekontruksi  kebencanaan. Bersama Arkom mengembangkan penataan ruang bersama masyarakat di pinggir perkotaan Yogyakarta. Minatnya pada masalah keruangan dan seni membuat Lilik pernah menjadi direktur  Architecture, Urbanism and Art Learning Center. Pengalaman itulah yang menjadikan Lilik sebagai lurah yang “mbedani” dalam melaksanakan layanan publik di Kebonharjo. Dengan keyakinannya, Lilik menginisiasi pendekatan budaya dalam membangun peradaban desa. (HR)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *