MELUPAKAN (INGATAN) KOTA
Masih segar dalam ingatan, beberapa tahun silam, dalam sebuah presentasi sejarahwan Peter Carey, yang seumur hidupnya menekuni sejarah Pangeran Diponegoro itu, mengungkapkan bahwa kota menjadi hidup karena narasi! Ya, saat itu, Pak Peter Carey tak bicara tentang Pangeran DIponegoro, namun membincangkan tentang kota dan sejarahnya. Tetap menarik untuk disimak.
Seketika saya merenung, melemparkan ingatan-ingatan akan masa lalu tentang ruang-ruang kota yang menjadi penanda sekaligus pembangun “struktur narasi” kota. Di Jogja, menjadi istimewa karena senantiasa hidup narasi-narasi kaya dari ruang-ruang yang bernama alun-alun, Malioboro, THR, Sarkem, dan kampung-kampung. Malioboro, misalnya, mengingatkan kita sebagai ruang publik puisi yang melahirkan penyair sekaligus gelegak kreativitas puitik.
Namun itu dulu, tahun-tahun 70-an di mana arus besar modernitas belum merasuki alam pikir pengambil kebijakan publik, dan wisata(wan) belumlah seheboh saat ini, yang demikian gandrung akan pengalaman visual, namun melupakan literasi sejarah. Malioboro sekarang, tentu sangat berbeda.
Tapi sudahlah, kita tak hendak meratapi romantisme masa lalu. Kita, kini, hidup menyaksikan sekaligus terlibat dalam kontestasi narasi tentang kota. Tapi, kita pun juga sadar bahwa ada narasi besar yang telah mengontrol ruang hidup kita, mimpi kita dan hasrat-hasrat kita.
Pengambil kebijakan publik membayangkan kota mesti menjadi kota modern kosmopolit. Kampung kota dianggap simbol kekumuhan dan keterbelakangan. Ruang-ruang kota, dari sungai sampai kampong, mestilah diubah menjadi modern. Semua lalu berganti, ruang-ruang kumuh mesti dibersihkan, ditata dan bisa saja digusur.
Mobilitas kapital, kiranya, lebih gencar lagi, ruang-ruang kota disulap menjadi patriark ekonomi, yang membentuk orientasi baru tentang apa artinya hidup di kota. Gaya hidup dan tingkah konsumsi masyarakat mesti mengikuti kehendak sang patriark, yang bekerja dalam pusaran ekonomi hasrat. Ruang-ruang srawung masyarakat bergeser, dari ketetanggaan menjadi konsumsi di kafe-kafe, mall, atau pusat leisure yang lain. Perpustakaan pun menjadi sepi, karena tergusur oleh kafe dan ruang-ruang baru yang serba nyaman dana apa-apa tersedia. Anda mau pesan kopi Gayo Wine tersedia, mau nyamikan pisang goreng, tinggal pesan, jika lapar mau pesan spaghetti akan diantar tanpa perlu menunggu lama dan repot. Semuanya serba mudah dan menyenangkan.
Perubahan-perubahan itu menciptakan narasi besar nan tunggal. Bahkan, perubahan itu berhasil menghapus narasi ingatan-ingatan tentang kota. Siapakah yang masih mengingat tentang ruang-ruang kampong yang menjadi penanda dinamika kepahitan sekaligus heroisme sejarah kota?
Walter Benjamin, filosof dari Frankfuter Schule itu, pernah menggagaskan bahwa kita hidup tak hanya seperti material atom yang mengambang, namun toh kita memiliki impian, emosi, imajinasi, fantasi dan hasrat. Namun, saat ini, masihkah emosi, hasrat, imajinasi dan juga impian-impian kita itu hidup, membangun narasi-narasi kota? Tidakkah arus besar penunggalan narasi tentang kota niscaya mengubur segala hal yang menjadi keunikan dan keotentikan setiap warga kota? I
Apakah yang kita ingat tentang kota, dengan demikian? Tidak ada! Ya, tidak ada, segalanya mungkin mencair, menguap. Hidup kita seolah tak dibolehkan mengingat dan merefleksikan tentang ruang di mana kita tumbuh dan hidup. Peta jalan hidup kita justru dipandu oleh gegap gempita iklan-iklan yang menghias ruang public maupun ruang privat. Segalanya seolah menjadi impian yang mesti diraih. Jika kita tak mengikutinya, bukan iklan atau apparatus produsen yang menghukumnya, namun teman, saudara, apalagi musuh kita yang akan menertawakan sambil diam-diam mengumpat: dasar kampungan loe!
Bambang-K. Prihandono