NGUTIL SUGUHAN

Menyangga Keberagaman, Keselarasan, dan Kelestarian

NGUTIL SUGUHAN

Beberapa kali lihat video di youtube yang beredar di grup-grup WA tentang emak-emak yang ngambil makanan suguhan dan memasukkannya ke dalam tas jinjing mereka saat kondangan, bikin geli sekaligus gimana gitu, meskipun sebagian video itu tampak sengaja dibikin cuma buat lucu-lucuan saja. Tetapi, di kehidupan nyata hal demikian itu benar-benar nyata ada. Dan sering terjadi di mana-mana, di kota maupun di desa. Cuma sayangnya, aku belum pernah menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri. Aku ini lugu apa kuper, yah?

“Sering!” jawab temanku, Betty, yang tinggal di pinggiran kota ketika kutanya pernah memergoki orang ngutil suguhan dalam sebuah acara tidak.

“Kalau bapak-bapak gimana yah, apa ada juga yang kayak gitu?” Aku jadi penasaran.

“Ya pasti ada-lah. Tapi memang kebanyakan ibu-ibu yang melakukannya, sih. Kan ibu-ibu yang biasanya kirmah, mikir ngomah, dibanding bapak-bapak,” Jelas Betty. Maksudnya, ibu-ibu lebih memikirkan urusan ketersediaan pangan sehari-hari untuk anggota keluarga di rumah.

“Eh, tapi bapak-bapak ada juga lho yang gitu. Kemarin pas Idul Qurban itu, kata tetanggaku depan rumah, ada beberapa bagian daging qurban menghilang, tuh. Ke mana, coba? Padahal jelas waktu itu hanya ada bapak-bapak di situ, karena ibuk-ibuknya di bagian lain”, katanya terkikik. “Itu sih contoh kecil, ya. Karena, kalau bapak-bapak kebanyakan kalau nyolong gak mau yang kecil-kecilan. Gede sekalian. Korupsi!”. Dan kami tertawa. Iya juga, yah.

Kemudian, karena penasaran sekali, aku jadi ingin menyaksikan langsung peristiwa “pengutilan suguhan” di kampungku sendiri. Sebelumnya, aku sudah cari sisik-melik, siapa kira-kira ibu-ibu yang suka beraksi begitu. Ketika sudah kukantongi sebuah nama dari sepupuku yang pengurus PKK di kampung, di malam pertemuan PKK di balai RW itu, aku sengaja mengambil tempat duduk dekat Bu Anu yang direkomendasikan sepupuku. Geli-geli penasaran, kunantikan saat pembagian suguhan tiba: wedang teh manis panas dalam gelas-gelas kaca dan kotak-kotak snack yang diedarkan ke semua yang hadir yang duduk lesehan dengan cara estafet, dari tangan-ke tangan menyamping.

Dan … rupanya saat itu tiba juga, setelah beberapa estafet tanpa terjadi apa-apa. Dengan ekor mataku, kulihat si Ibu Anu itu, set, menyisihkan segelas teh panas dan kotak snack di samping belakang tubuhnya, mepet tembok, sementara persis di depan duduknya, bersebelahan dengan dudukku, gelas dan kotak snack untuknya juga sudah tersedia. Lalu, dengan kalemnya, tanpa mencolok, tapi aku yang duduk di sebelahnya dan diam-diam sedang mengawasinya jelas memergoki. Dia minum dulu gelas yang disisihkan tersembunyi di belakangnya, sementara kotak snack serepnya dengan cekatan dia masukkan ke dalam tasn kainnya. Wah, wah, wah, tobat! Bahkan teh manis panas pun dia minum dobel! Nggak takut diabet apa, yah?

Hasil pengamatanku, ibu-ibu yang lain bukannya tidak tahu menahu soal itu. Yang tahu ada yang pura-pura tidak tahu. Ibu yang duduk berseberangan denganku menahan senyum ditujukan kepadaku karena tahu kita sama-sama tahu aksinya itu, diikuti oleh senyum ibu di sebelahnya. Selain ada juga yang memandangnya dengan menunjukkan muka rada mencemooh tapi tidak bisa apa-apa juga. Dan si Ibu Anu ya tampak santai saja, ndablek-ndablek saja. Mungkin karena saking sudah terbiasa dengan aksi-aksinya. Konon, pernah ada yang mengingatkan tapi tidak mempan. Dan ibu-ibu yang lain hanya bisa menggunjingkannya di belakang sebagai rasan-rasan yang timbul tenggelam. Mau diperkarakan kok ya rasanya “saru” wong cuma segitu. Mau menertibkan ritual estafeta snack kok ya rasanya nista wong tidak seberapa nilai rupiahnya. Akhirnya, daripada ribet, suguhan-suguhan yang kerap dikutil si Ibu Anu itu dianggap sebagai sedekah saja. Mungkin semacam sedekah yang diambil paksa. Ha ha ha…

Rinawidya

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *