UMI ROHINAH: BUKAN PEREMPUAN DESA BIASA
Senang bernyanyi, menembang, mendongeng, suka membaca, gemar mengisi TTS, mengerti beberapa bahasa, dapat menulis dalam sejumlah aksara, paham not balok; di usianya yang 93, Rohinah yang lahir di Dusun Butuh, Desa Lendah, Kulonprogo pada 14 Agustus 1930 ini sekarang masih hobi rengeng-rengeng, berdendang, masih antusias bercerita, masih menikmati novel, masih membaca buku-buku nonfiksi, tentang budaya, misalnya, masih ceria dan tidak suka berdiam diri saja.
Lulus SR (Sekolah Rakyat, setingkat SD) sebelum Jepang datang, tepatnya tahun 1941, meskipun lahir dan tinggal di desa, Rohinah memiliki semangat tinggi untuk meneruskan sekolah. Bersama beberapa teman, sangat sedikit dari anak-anak Lendah, Rohinah melanjutkan ke MTs Muhammadiyah (Madrasah Tsanawiyah, setingkat SMP) di desa Galur, lebih-kurang 6 km dari rumah, pergi-pulang sekolah jalan kaki.
Selama bersekolah di MTs Muhammadiyah yang didirikan oleh Pak AR Fachruddin (Pimpinan Pengurus Pusat Muhammadiyah), Rohinah mendapatkan pelajaran bahasa Belanda, juga bahasa Indonesia dan Jawa, tentu saja, dan bahasa Arab sebagai pelajaran pokok, serta bahasa Jepang, karena pada saat itu Indonesia sedang terjajah Jepang. Selain lancar berbahasa Arab, Indonesia, dan Jawa aktif-pasif, Rohinah juga mengerti bahasa Belanda dan Jepang. “Sedikit-sedikit,” tutur Rohinah seperti merendah. Meskipun, pernah suatu ketika pas piknik ke Kebun Binatang Gembiraloka bersama keluarga, dengan disaksikan anak-cucu, Rohinah kedapatan berkomunikasi dengan turis Jepang. Bahkan sampai sekarang Rohinah masih hafal menyanyikan beberapa lagu berbahasa Jepang, dan lebih daripada itu, Rohinah dapat menulis dalam huruf Kanji, huruf Jepang.
Saat diminta untuk menyebutkan nama lengkapnya, Rohinah tanpa berkata-kata meraih notes dan bolpen yang ada di meja tamu rumahnya, dan segera ditulislah namanya di kertas itu: U m i R o h i n a h, dalam huruf Latin, Jawa, Jepang, dan Arab. Lalu, ditunjukkan dan diejanya satu-satu tulisan itu sesuai macam hurufnya. Dan, mulailah mengalir cerita-ceritanya. Memang, nenek Umi Rohinah dikenal anak-cucu-cicitnya sebagai seorang yang gemar mendongeng dan bercerita. Dulu, tentu saja juga mendongeng dan bercerita kepada murid-muridnya sewaktu dirinya masih berprofesi sebagai guru.
Memori nenek Rohinah terhitung masih sangat kuat saat ini di usianya yang sudah 92 lewat, berbeda dengan pendengaran dan pengliatannya yang sudah menyusut banyak. Untuk membaca dan menulis, nenek Umi Rohinah musti mengenakan kacamata plus 5-nya. Juga ketika memperkenalkan dirinya dengan tulisan, bukan ucapan. Begitu pula saat menulis nama-nama jenis semua tembang macapat Jawa yang masih dihafalnya: Maskumambang, Pocung, Gambuh, Megatruh, Mijil, Pangkur, Kinanthi, Durma, Asmarandhana, Sinom, Dandanggula; yang lantas dengan senang hati ditembangkannya satu-satu masing-masing tembang itu.
Nenek Umi Rohinah juga rajin mendaras Quran – membaca dengan bersuara – setiap hari, konsisten tiap pagi habis subuh dan petang habis magrib. Satu kitab yang berisi 30 juz itu biasanya berhasil diselesaikannya (khatam) dalam dua bulan. Nah, saat mendaras bersama anak lelaki yang tinggal bersamanya sampai sekarang, sewaktu pendengarannya masih bagus, acapkali nenek Rohinah berhenti sebentar untuk membetulkan bacaan anaknya yang keliru. Tidak heran karena sebagai lulusan MTs Muhammadiyah di zaman itu, Rohinah dapat berbahasa Arab pasif-aktif.
Tidak lama setelah lulus MTs, Umi Rohinah menjadi guru di SR Muhammadiyah setempat. Sempat berhenti mengajar selama 2 tahun, sebelum mendaftar sebagai guru di SR Negeri ke Penilikan Sentolo. Rohinah ternyata mendapat panggilan dari Dinas P&K Provinsi DIY dan menerima beslit sebagai pegawai negeri golongan II/D untuk ditempatkan sebagai pengajar tetap kelas satu dan dua di SR Negeri Pergiwatu, berjarak kira-kira 1 jam jalan kaki dari rumah. Pekerjaan sebagai guru di Pergiwatu ini dijalaninya selama 14 tahun dari tahun 1952 sampai dengan tahun 1964, sebelum akhirnya Umi Rohinah mengajukan surat pindah ke SR Negeri Butuh yang lebih dekat rumah, berjarak sekitar 800 meter saja. Dan permohonan pindah kerja itu dikabulkan Dinas. Di SR Butuh ini, Umi Rohinah tetap mengajar di kelas yang sama, satu dan dua.
Berbeda dengan guru-guru pada umumnya, setiap jam istirahat tiba, Rohinah tidak beristirahat di ruang guru bersama guru lain tetapi ikut bermain dan bersenda gurau dengan murid-muridnya; main bola bekel, bercerita, atau bernyanyi. Rohinah bukan hanya sekadar senang menyanyi, melainkan juga paham not balok. Pengetahuan ini didapat saat Rohinah mengikuti kursus tertulis jarak jauh pendidikan guru, dan mendapat kiriman buku-buku semacam panduan mengajar dari Bandung. Dari buku panduan itulah Rohinah memperoleh pelajaran musik dan dengan kedisiplinan dan ketekunannya dapat memelajari not balok hingga mampu baca-tulis.
Rohinah memang sungguh-sungguh menikmati perannya sebagai guru. Hal ini juga tidak terlepas dari peran suaminya kala itu. Almarhum suaminya, R. Atmodjo, seorang priyayi Lendah, yang adalah kakak kelasnya di MTs Muhammadiyah, dinikahinya pada awal tahun 1948. R. Atmodjo seorang yang memberinya kemerdekaan dan dukungan penuh kepada Rohinah untuk menjalani profesinya sebagai seorang guru selama puluhan tahun hingga pensiun pada tahun 1990. R. Atmodjo sendiri bekerja sebagai petani dan berdagang hasil tani, yang sehari-hari pintar memasak untuk keluarga, lebih ahli daripada sang istri.
Pada tahun 1949, pasca Agresi Militer Belanda II, Rohinah melahirkan anaknya yg pertama. Kemudian berturut-turut anaknya lahir hingga genap delapan: 5 laki-laki, 3 perempuan, yang kelak semuanya lulus Perguruan Tinggi. Selama ditinggal mengajar, peran suami dan seorang rewang (asisten rumah tangga) sangat membantu dalam mengurus anak-anak dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Belakangan, anak-anaknya yang lebih besar membantu momong adik-adiknya.
Kini, setelah 24 tahun menikmati masa pensiunnya, nenek Umi Rohinah telah dikaruniai 28 cucu, 19 cicit. Sosok yang dulu dikenal lincah, gesit, bersemangat, ceria, dan tidak betah diam itu sampai hari ini masih suka menyapu halaman hingga ke gang depan rumahnya, meskipun berjalannya kadang mulai kesulitan; masih senang rengeng-rengeng menyanyi atau menembang macapat, meskipun kualitas suaranya tidak lagi laras lantaran termakan usia; masih bertubuh ramping karena masih kuat puasa dan tidak malas-malasan.
Berkumpul dan bercerita bersama anak-cucu-cicit menjadi bagian dari kebahagiaan hidupnya sekarang. Seorang anak laki-lakinya yang sudah “besar”, Marjuddin Sueb, penyair senior yang sehari-hari tinggal berdua dengan ibunya, merawatnya, memasak untuknya, mendengarkan ibunya mendongeng dan bercerita, mendandaninya mengenakan kerudung saat ada tamu datang, dan seminggu sekali mencabuti bulu-bulu mata sang ibu yang pertumbuhannya justru menyakiti sepasang matanya. Ya, karena perkembangan usianya, kelopak mata nenek Umi Rohinah menjadi terlipat ke dalam. Namun, dengan semua proses biologis yang dialaminya, keceriaannya masih tetap kentara pada tarikan otot-otot di wajahnya, di bibirnya, saat dirinya tertawa.
Rinawidya