Marwanto

Menyangga Keberagaman, Keselarasan, dan Kelestarian

Marwanto

 

Marwanto, sastrawan yang memulai proses kreatif sejak 1992 dengan menulis beragam genre: esai, puisi, cerpen, cerkak dan resensi buku yang dimuat di koran (Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Suara Karya, Pos Bali, Minggu Pagi, Koran Sindo, Pikiran Rakyat, Mercusuar, Metro Sulawesi, Solopos, Bernas, Harjo, dll), majalah (Gatra, Gong, Syir’ah, Mata Jendela, Pagagan, Suara Hidayatullah, Hai), tabloid (Adil), buletin (Ikhtilaf, Lontar, Pawon) maupun media online (basabasi, lensasastra, detikcom, cendananews dll). Menggerakkan aktivitas sastra di tempat tinggalnya lewat Lumbung Aksara (2006-sekarang), mengetuai Forum Sastra-Teater Kulonprogo (2015-sekarang) serta membina komunitas Sastra-Ku (2019-sekarang). Menulis tujuh buku tunggal, yang terbaru Kita+(Duh)-Kita (puisi, 2022). Puisi dan cerpennya memenangi sejumlah lomba sastra tingkat nasional.

Catatan:

Marwanto, tinggal di Kulonprogo, memang rajin menulis. Tidak hanya puisi, ia juga menulis cerpen dan esai. Ia juga menulis sastra menggunakan bahasa Jawa, yaitu cerkak –cerita cekak–. Puisi2nya sudah diterbitkan menjadi buku, baik buku tunggal karyanya sendiri, juga diterbitkan dalam sejumlah antologi puisi bersama penyair Indonesia lainnya.

Puisinya berkisah mengenai kehidupan berikut persoalan yang menyertainya. Ia petik sisi yang menarik dan dihadirkan sebagai puisi. Dua puisinya ini, mengambil kisah seperti itu, setidaknya menyangkut kehidupan, yang mengalir, seolah seperti sungai, atau sering kita dengar ada yang menyebutkan” hidupnya mengalir saja. Begitulah hidup mengikuti gerak alam, percaya bahwa ada kekuatan di luar kehidupan manusia yang mengaturnya.

Namun, bagi Marwanto, kehidupan tidak hanya sekedar mengalir, lurus saja dan berhenti sampai di satu ujung. Namun, selain mengalir, hidup juga menjalar, artinya berguna bagi orang lain. Dalam kata lain, hidup bukan untuk dirinya sendiri, melainkan berguna bagi banyak orang.

Kalau hidup hanya untuk dirinya sendiri, tidak mempunyai perhatian atau kepedulian pada orang lain, seperti orang-orang di jalan, yang abai terhadap sirine ambulan, padahal di dalam ambulan ada orang yang sedang sekarat; tetapie, perhatian pada sirine yang lain, untuk mencarikan jalan pada seseorang yang ada di dalam mobil, agar lancar jalannya. Dua sirine mempunyai arti lain dalam kehidupan, dan orang meresposnnya dengan cara yang berbeda.

Silahkan nikmati dua puisi Marwanto.

 

Hidupku, Mengalir Menjalar
-catatan 50 tahun

hidupku adalah air. yang mengalir
: gemercik –dari hulu hingga hilir.

hulu itu. rahim itu. rahim seorang ibu.
melahirkanku. mengasuh jiwa-ragaku
dan di hilir, derai tawa yang selalu riang
mencanda alam –dari fajar hingga petang
saat datang malam. memeluk erat mimpi
juga obsesi. yang hendak dituntaskan esok hari

hidupku adalah air. yang menjalar
: segala arah –dari pucuk daun hingga akar

di pucuk itu. tauladan itu. tak habis diresapi
di akar itu. kesabaran yang tak pernah ada tepi
terus menjalar. bergerak berpadu merawat alam
tak terpisahkan. tak juga mampu dihentikan
jika sengaja ada yang menyumpal. niscaya uwal
karena fitrah air selalu mengalir menjalar. kekal

hidupku mengalir. hidupku menjalar
dalam kesahajaan pikir. penghambaan akbar
sungai-sungai yang selalu menghidupi
–segala penghuni

hidupku mengalir. hidupku menjalar
dalam keagungan zikir. menjernihkan nalar
sungai-sungai pembasuh seutuh jiwa raga
–di  seluruh usia

Wisma Aksara_2022


Sirine di Negeri Dongeng

suara sirine mobil meraung lantang
menyusuri jalan yang padat kendaraan
terjepit di tengah kerumunan, penuh lalu lalang
yang tak mau menyingkir, yang tak memberi jalan
padahal di dalam mobil tergeletak orang sekarat
yang mungkin beberapa saat lagi akan  mangkat

lain waktu sirine mobil kembali meraung
meluncur dengan gagah membelah kerumunan
membuat pengguna jalan menyingkir ketakutan
di dalam mobil duduk  santai orang berseragam
sedang berhitung dan ingin membuat panggung
mengadu nasib bertarung di pemilu mendatang

di negeri itu saya mencatat
orang lebih takut pada mobil pejabat
daripada menaruh iba dan hormat
pada mobil pengangkut orang sekarat

ah, tapi itu bukan di negeriku
juga bukan juga negerimu
itu hanya ada di negeri dongeng
ketika wajah harus tampil bertopeng
bersolek menutup borok dan koreng

ini hanya cerita di negeri dongeng
yang kelak anak cucu akan mencatat
pengekal ingatan sepanjang hayat

 Wisma Aksara, 2021

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *