PGT – Drumband – Marching Band
Oleh: Erwito Wibowo
Pendahuluan
Sebagai kesenian yang berakar kuat di Kotagede, marching band termasuk jenis seni musik ansambel. Dalam memainkan instrumen musik dipadukan dengan baris-berbaris. Di Kotagede, akar masa lalunya dimulai dari PGT, sekitar tahun 1964-1968.
PGT singkatan dari Pasukan Genderang Terompet. Genderang merupakan alat musik pukul berbentuk selinder yang tutup atas dan bawahnya terbuat dari kulit kambing yang ditipiskan. Bentuknya ada yang besar dan ada yang kecil. Tambur bentuknya lebih pipih, pada tutup bawahnya terdapat senar untuk menghasilkan suara yang bergetar. Tam-tam bentuknya agak panjang, tutup bawahnya tidak mengenakan senar. Oleh karena menggunakan kulit kambing sering mengalami kelembaban dan harus dijemur, agar menghasilkan suara lantang. Sedangkan Jedor, diameternya hampir 60 cm, pada permainan marching band biasa disebut Bass Drum. Instrumen alat berikutnya, trompet, yang memiliki karakter suara lengkingan tinggi, bertugas untuk memainkan melodi serta mengatur dinamika pada lagu, sehingga karakter terompet cocok untuk mengatasi suasana suara riuhnya tambur, tam-tam, dan jedor.
Pasukan Genderang Terompet dipimpin oleh seorang mayoret, membawa tongkat yang atasnya lancip dan bawahnya menggelembung tempat butiran logam bergemerincing yang dipergunakan sang mayoret untuk memberikan aba-aba, masa transisi pergantian lagu, atau aba-aba segera bergerak melakukan move on atau aba-aba lainnya.
Tambor dan Trompet untuk Mengawal Pasukan Infanteri Belanda
Pada mulanya, musik tambur dan terompet ini dipergunakan oleh pasukan infanteri Belanda, sehingga muncul istilah bagi pembawa instrumen alat tersebut disebut ‘tamboer meester dan trompet meester”.
Pemerintahan pendudukan Hindia- Belanda di Indonesia mengadopsi The Ottoman Militery Band yang sudah ada sejak abad ke-11 di Eropa pada era baroque, dipergunakan Belanda di Indonesia untuk penyemangat perang.
Ketika PGT, Pasukan Genderang Terompet, dirintis Persarikatan Muhammadiyah di Yogyakarta, banyak orang yang menentangnya dengan menggunakan memori kolektif sosial budaya kemasyarakatan di masa lalu. Yang mereka ingat PGT merupakan peniruan dari tamboer meester dan trompet meester yang dipergunakan pasukan infanteri Belanda. Oleh sebab itu, menggunakan alat-alat yang dipergunakan Belanda termasuk dikafirkan.
Namun, Muhammadiyah jalan terus menggunakan PGT untuk mengawal acara dan peristiwa budaya yang diadakan Muhammadiyah, termasuk Pasukan Genderang Terompet yang dirintis dan tumbuh di Kotagede.
Pasukan Genderang Terompet yang dimainkan Pemuda Muhammadiyah Kotagede, menggunakan tempat latihan di jalan timur pasar Kotagede atau di halaman masjid gede Mataram Kotagede. Mayoret dipegang oleh Wardani Abdullah Umar pemuda Sayangan. Jedor ada dua, dimainkan oleh Djamhari pemuda Patalan dan Sugiyanto pemuda Pandean. Giek Sugiarto dan Syamsuddin, pemuda Sayangan, memainkan tam-tam. Terompet dipegang oleh Abdul Wahab dan Kartono. Pada periode berikutnya, maroyet dipegang Sudarminto, pemuda Alun-Alun.
Setiap periode zaman berjalan, perubahan dan pergantian terjadi. PGT diganti menjadi Pasukan Drumband, pada sekitar tahun 1968-1973. Tulang punggung pasukan drumband pemuda Muhammadiyah Kotagede banyak diisi oleh pemuda Basen. Mayoretnya dipegang oleh Eko. Pemegang tam-tam ada Mulya Rahardjo, Karnan, Wilopo, dan lain sebagainya. Drumband Pemuda Muhammadiyah Kotagede mengawal pawai Idul Fitri dan Idul Adha menuju tempat salat di lapangan Giwangan Yogyakarta. Tamburnya sudah menggunakan mika, bukan lagi kulit kambing. Latihan masih di jalan timur pasar Kotagede yang masih sepi dari dampak luberan pedagang Pasar Kotagede.
Periode Marching Band
Pasukan Drumband pada tahun 2000-an berganti nama menjadi Marching Band sampai dengan saat ini. Marching Band juga menambah alat musiknya selain mengganti istilah lama menjadi baru menyesuaikan perkembangan zaman.
Pada Marching Band muncul instrumen alat musik disebut Snare Drum (dulu disebut tambur yang di bawahnya terdapat larik-larik senar), Bass Drum (dulu disebut jedor), Quint Tom merupakan instrumen alat bersusun empat sampai lima, pukulan dobel alat musik inilah yang menjadikan Marching Band nampak rancak, dinamis, meriah, dan cetar. Ditambah dengan Hand Cymbal, menjadikannya lebih komplet hingar bingarnya. Untuk mendukung itu semua, masih ada alat pendukung nonbunyi yaitu berupa gerakan permainan Colour Guard (pasukan pembawa bendera warna-warni) yang semakin meriah dan sensasional.
Perintis Marching Band di Kotagede muncul untuk mendukung event pawai takbiran di Kotagede pada malam menjelang Hari Raya Idul Fitri, kira-kira di awal tahun 2000-an. Dirintis oleh Novianto Setiawan, pemuda Patalan mewakili tarawehan Masjid Nur Hasani di Patalan. Kemudian, ada satu lagi yaitu Cahya, pemuda Basen mewakili tarawehan Masjid Darussalam, Basen. Di samping mereka merintis performa tampilan Marching Band, juga merintis wardrobe (kostum) yang dikenakan peserta pawai dengan penuh gaya dan mutakhir. Rintisan tersebut menjadi inspirasi bagi peserta lainnya untuk menggarap performa tampilan karakter yang sama. Jadilah semacam kesepakatan bersama model gaya karakter tampilannya.
Selain itu, setiap peserta menggarap replika sesuai tema yang diangkat di tahun ini. Replika bagian dari elemen pawai. Replika besar dan tinggi menjadi informasi penting agar terlihat penonton di kejauhan untuk mengatasi semrawutnya jalan raya yang dipergunakan sebagai rute pawai. Replika menjadi kontak mata pertama para penonton di tepian jalan, sehingga dengan mudah mampu diapresiasi dengan melihat tema yang direpresentasikan dalam bentuk replika. Replika yang sesuai tema akan mudah diapresiasi penonton. Replika yang tidak sesuai tema, akan membingungkan di ruang pemahaman penonton. Konsep rancangan penampil dalam menterjemahkan tema, baik berupa replika, lampion, wardrobe, properti, asesoris, koreografi, penataan iringan musik, akan diuji oleh penonton yang kritis, yang selalu mempertanyakan kesesuaian tema, di samping sebagai hiburan serta branded event pawai tahunan di Kotagede melalui proses yang orisinal.
Coba bayangkan, Jember yang tidak memiliki basis budaya yang berkarakter kuat, berhasil menemukan event peristiwa budaya “Jember Batik Carnival” yang terinspirasi event di Rio de Janiro. Jember tidak berangkat dari titik orisinalitas, mengambil titik semangat milik bangsa lain, kemudian dibatikkan. Itu saja.
Di Kotagede, branding-nya cukup kuat, berbasis kegembiraan perayaan keagamaan, sesuatu seni budaya berupa pawai jalanan menggunakan alat musik yang berakar kuat karena dirintis dinamika zaman, tentu merupakan kerja membangun ekosistem. Proses perjalanan perubahan dari PGT- Drumband – Marching Band itulah yang disebut peletakan dasar ekosistem. Tanpa membangun dan meletakkan dasar ekosistem, sulit membentuk lahirnya sebuah seni budaya yang berkarakter unik, berkelas, mampu menembus zaman, menembus usia berbagai generasi. Yang dulunya ikut berpawai atau menjadi panitia, setelah keluar dari Kotagede dan memperoleh kemapanan kerja, memiliki keluarga, anak, menantu dan cucu; setahun sekali pulang ke Kotagede membawa seluruh jaringan keluarga hanya melihat masa lalu yang selalu baru melalui Pawai Takbiran.
Penutup
Adapun yang disebut ekosistem ialah sebuah kemudahan yang dilakukan dan yang melakukan jika diperlukan sewaktu-waktu dalam bentuk festival atau lomba, gampang disediakan dan disiapkan. Ini berbeda dengan cabang seni budaya yang tidak disiapkan dengan menggunakan ekosistem., yang akan mengalami tingkat kesulitan bagi peserta. Oleh karena itu, perlu digerakkan, perlu dicoba dulu, serta perlu dilihat seberapa jauh diminati banyak khalayak ramai.